REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan calon legislatif (caleg) yang masih menjabat sebagai penyelenggara negara mengenai potensi gratifikasi terkait dana kampanye. Caleg incumbent pun diminta untuk menolak atau melaporkan pemberian ke KPK.
“Dari analisis KPK, ada indikasi potensi gratifikasi pada caleg,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Ahad (23/2). Pemberian tidak hanya dana kampanye, tapi juga hadiah dalam bentuk lain. Ketentuan itu ada dalam Pasal 12B Ayat 1 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai Pasal 12C Ayat 2 UU Tindak Pidana Korupsi, penyampaian laporan dilakukan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak penerimaan gratifikasi. “Itu sebagai suatu wujud komitmen dan kepedulian partai pada pemberantasan korupsi,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, KPK sudah memberikan imbauan kepada partai politik untuk memperhatikan potensi gratifikasi tersebut. KPK sudah melayangkan surat kepada 15 ketua umum partai politik peserta pemilu pada 12 Februari. Tiga di antaranya kepada pimpinan tiga parpol lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.KPK menilai penting pimpinan parpol untuk mengingatkan para caleg akan aturan gratifikasi. Sebab, banyak caleg yang masih menjabat sebagai anggota dewan yang masuk dalam kategori penyelenggara negara.
Sekitar 90 persen dari 560 anggota dewan kembali maju pada pemilu legislatif pada 9 April. “KPK juga sudah menginfokan ada potensi penyalahgunaan dana hibah dan dana bansos,” kata Bambang.
Tidak hanya kepada caleg incumbent, Bambang juga mengingatkan para penyelenggara negara untuk segera melaporkan gratifikasi yang diterima. “Aturan gratifikasi melekat pada siapa pun penyelenggara negara dan mereka dianggap sudah tahu,” ujar dia.
Wakil Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaedi mengatakan, potensi gratifikasi pada caleg incumbent bisa terjadi. Sesuai aturan, caleg melaporkan dana kampanye yang diakumulasikan oleh parpol.
Dia mengatakan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berperan untuk mengawasi dana kampanye tersebut. “Untuk identifikasi caleg incumbent. Berapa dana kampanye, sumber dari mana saja,” kata dia. Namun, Veri berpendapat ada keterbatasan sumber daya Bawaslu.
Sehingga, ia mengatakan, Bawaslu dapat aktif untuk bekerja sama dengan KPK dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). “Penyelenggara pemilu tidak bisa kerja sendiri. Harus melibatkan KPK dan PPATK,” kata dia.
Menurut Veri, pengawas pemilu, PPATK, dan KPK bisa menelisik aliran dana yang masuk ke caleg. Begitu juga dengan membandingkannya pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). “Kalau jomplang keuangan mereka (di LHKPN) dengan dana yang digelontorkan untuk kampanye, bisa jadi indikasi ada hal yang mencurigakan,” ujar dia. n irfan fitrat/ed: ratna puspita
Informasi dan berita lainnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.