REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) mencatat, kinerja realisasi belanja kementerian/lembaga (K/L) tahun anggaran 2013 secara kumulatif tidak optimal. Hal ini disebabkan adanya hambatan dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Wakil Ketua TEPPA yang juga menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati menyatakan, realisasi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 90 persen atau sebesar Rp 634,6 triliun. Pencapaian tersebut lebih tinggi dari realisasi anggaran pada 2012 yang tercatat 89,3 persen dari pagu Rp 547,9 triliun.
Meskipun realisasi belanja naik, realisasi belanja barang dan jasa K/L pada 2013 menurun enam persen. Dari 86 persen dari pagu 2012, menjadi 80 persen dari pagu 2013 sebesar Rp 206,5 triliun. Menurutnya, salah satu penyebab penurunan realisasi barang dan jasa, yakni adanya ketakutan aparatur K/L terlibat permasalahan hukum.
Imbasnya, sebagian besar K/L semakin hati-hati dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa pada institusinya sehingga realisasi belanja rendah. “Banyak yang tidak ingin menjadi bendahara, pimpinan proyek, atau pejabat pembuat komitmen (PPK),” ujarnya, Senin (24/2).
Majalnya realisasi belanja barang dan jasa, tidak hanya terjadi di pemerintah pusat. Kondisi yang sama juga tergambar di pemerintah daerah. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, realisasi belanja barang dan jasa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di provinsi tercatat 89,2 persen. Sedangkan, realisasi belanja barang dan jasa APBD Kabupaten/Kota lebih rendah, yaitu 84,42 persen.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebut rendahnya realisasi belanja barang dan jasa provinsi dan kabupaten atau kota juga disebabkan kehati-hatian berlebihan para aparatur terhadap permasalahan hukum. “Silakan proses hukum berjalan. Pemberantasan korupsi harus dilakukan. Akan tetapi, jangan sampai proses tersebut membuat daerah takut,” ujarnya.
Menurutnya, proses hukum harus sejalan dengan kelancaran penyelenggaraan pemerintah. Karena kalau penyerapan anggaran berkurang, pertumbuhan ekonomi akan terganggu, penyerapan tenaga kerja juga terganggu.
Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengatakan, ketakutan tersebut beralasan, mengingat dalam beberapa kasus, kepolisian dan kejaksaan kerap mengutak-atik proses tender barang dan jasa. “Padahal baru pengumuman tender, aparatur sudah dipanggil polisi dan jaksa karena diduga ada sesuatu yang tidak benar. Ini belum selesai dalam artian ditetapkan pemenangnya,” katanya.
Hal ini, menurutnya, memperlambat proses tender. Akibatnya, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa lambat, pencairan terlambat sehingga realisasi belanja juga rendah.
Menanggapi permasalahan hukum yang mengganjal pengadaan barang dan jasa, Ketua TEPPA Kuntoro Mangkusubroto mengatakan akan meneliti masalah tersebut lebih lanjut. Menurutnya, hal itu terkait erat dengan beragam tata cara pemeriksaan yang dilakukan aparat penegak hukum dan aspek-aspek lainnya. “Hambatan karena ketakutan, atas proses hukum ini sesuatu yang perlu kami pikirkan,” katanya.n muhammad iqbal/ed: fitria andayani