REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Kesehatan Nafsiah Mbo'i meminta agar pembahasan Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) ditunda. Sebab, dia menilai ada kesulitan penerapan standardisasi halal untuk vaksin dan obat.
Nafsiah mengatakan, tidak mempermasalahkan penetapan halal haram untuk makanan yang berdasarkan aturan agama. Namun, dia menyatakan, sertifikasi halal untuk obat-obatan sebaiknya dikecualikan dalam rancangan tersebut.
Sebab, penerapan untuk obat-obatan menyangkut pengobatan dan berhubungan dengan nyawa manusia. Bisa jadi, kata dia, kandungan dalam obat terbilang tidak halal tetapi justru bisa menyelamatkan nyawa manusia.
“Yang jadi masalah kalau halal dan tidak halal kan jelas dari agama. Karena itu, dari kami, oke. Tapi kalau bisa obat dan vaksin jadi itu ditunda dulu deh. Kalau makanan kan jelas mengandung babi atau bukan babi, tapi kalau obat atau vaksin?” kata dia, Jumat (28/2).
Nafsiah menambahkan, Kemenkes belum memiliki kesiapan dam infrastruktur yang memadai untuk membedah obat-obatan termasuk kategori halal atau tidak. Bagi Kemenkes, lebih mudah menentukan sehat atau tidak dibandingkan halal atau tidak. “Kita belum ada kesiapan. Untuk mengetahui proses pembuatan obat itu halal atau tidak juga sangat sulit diketahui. Enggak tahu saya bagaimana cara memeriksanya. Itu kan susah apalagi proses pembuatan obat itu kan pakai mesin-mesin,” katanya
RUU JPH sekarang ini memang sudah masuk tahap pembahasan di DPR. Nafsiah pun mempersoalkan, awalnya penyusunan RUU JPH tidak melibatkan Kementerian Kesehatan. Kemudian, Kemenkes ikut dilibatkan ketika pembahasan dilakukan di DPR.
Hingga pertengahan Februari lalu, Panja meragukan RUU JPH bisa disahkan oleh DPR periode 2009-2014. Ketua Panja RUU JPH dari DPR Ledia Hanifa mengatakan, legislator tidak memiliki banyak waktu mengingat hanya tersisa dua jadwal rapat karena pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.
DPR memang masih memiliki masa sidang hingga September, namun masih banyak hal yang harus dibahas. Jika tidak disahkan periode ini, RUU harus dibahas lagi dari awal oleh DPR periode berikutnya. “Tidak ada warisan RUU. Kalau berganti orang maka mulai lagi dari nol,” ujar Ledia.
Banyaknya keterlambatan membuat pengesahan tak kunjung tercapai. Sudut pandang yang berbeda dengan pemerintah tentang RUU ini membuat DPR beberapa kali mengundang pihak berkepentingan agar visi semua pihak sama. Isu utamanya soal lembaga yang berhak melakukan sertifikasi.
DPR menghendaki agar MUI tetap berwenang melakukan sertifikasi halal seperti sekarang. Sedangkan, pemerintah menginginkan Kementerian Agama yang memegang fungsi itu. Penggagas Komunitas Halal Corner (HC) Aisha Maharani melihat pemerintah tidak serius meluluskan RUU ini. Draf yang dibuat sejak 2005 tidak juga selesai dibahas karena melebar ke mana-mana. Kemarin, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) melansir hanya ada 304 produk roti dan bahan roti yang dinyatakan halal pada 2013-2014. LPPOM meyakini jumlah produsen roti dan bahan roti yang halal jauh lebih banyak.
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan, sertifikasi halal produk di Indonesia masih bersifat sukarela, bukan kewajiban. Ini pula yang membuat LPPOM MUI bersikukuh meminta RUU Jaminan Produk Halal dapat menghasilkan poin keharusan (mandatory) produsen melakukan sertifikasi halal. “'Produk halal bukan hanya kepentingan umat Islam. Ini juga terkait pengawasan produk. Sertifikasi halal akan membantu kendalikan produk impor dan melindungi produk dalam negeri,” kata dia. n esthi maharani/fuji pratiwi ed: ratna puspita
Informasi dan berita lainnya selengkapnya bisa dibaca di Repubika, terimakasih.