REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Industri hulu, khususnya petrokimia, meminta pemerintah dan Pertamina memberikan jaminan pasokan gas. Sekretaris Jenderal The Indonesia Olefin and Plastic Industry Association (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, pasokan gas yang tidak terjaga akan mengganggu produksi industri petrokimia.
“Karenanya, kami meminta pasokan gas tahun ini harus terjamin. Gas merupakan sumber energi utama kami,” kata Fajar dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, akhir pekan kemarin.
Menurut Fajar, konsistensi pasokan gas akan sangat membantu industri hulu yang saat ini sedang mengalami tekanan akibat fluktuasi nilai tukar rupiah dan kenaikan upah pekerja. Apalagi, secara persentase komponen gas di industri petrokimia mencapai 15 persen dalam proses produksi sehingga memegang peranan sangat penting. Fajar mengatakan, saat ini, pasokan gas ke industri petrokimia sebesar 60 persen. Sedangkan, Pertamina baru mampu memenuhi 30 persen. Sisanya dari impor.
Kesulitan pasokan gas juga dialami industri baja. Menurut Direktur Eksekutif The Indonesia Steel and Iron Industry Association (IISIA), Hidayat Trisepoetro, kondisi demikian dipengaruhi iklim ekonomi dunia yang belum pulih sepenuhnya.
Padahal, industri baja juga harus menyesuaikan pengeluarannya terkait dengan kebijakan pemerintah menaikkan upah minimum kabupaten/ kota (UMK) belum lama ini.
Hidayat mengatakan, sampai saat ini, asosiasi belum berani memprediksikan kapan ekonomi dunia dapat pulih (recovery) karena erat kaitannya dengan kebijakan yang diambil negara-negara maju.
Industri baja nasional diakui masih terpengaruh dengan industri baja dunia yang sedang lesu. Banyak industri baja terkemuka di dunia yang mengalami kerugian akibat kondisi ekonomi global yang belum membaik. “Kondisi itu sama dengan kondisi industri baja nasional. Pengaruh global losses ini masih terasa,” kata Hidayat.
Ia melanjutkan, saat ini industri baja di dalam negeri hanya mampu bertahan (survival) agar tidak mengalami kerugian lebih besar. Bahkan, IISIA belum berani memprediksi kapan industri baja akan kembali pulih karena semua itu sangat bergantung pada kondisi ekonomi dunia.
Industri baja, menurutnya, erat dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan harga baja dunia. Kondisi saat ini, harga bahan baku tinggi, sedangkan harga jual tertekan. Ia mencontohkan yang dialami PT Krakatau Steel (KS) Tbk. Penjualan produk HRC dari KS tertekan 13 persen, CRC (sembilan persen), wirerod (11 persen), dan baja profil (13 persen) akibat belum membaiknya harga baja dunia ditambah fluktuasi nilai tukar dolar AS.
Dengan kondisi demikian, ujar Hidayat, seharusnya ada dukungan pemerintah agar industri dapat bertahan di tengah-tengah kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan. Dukungan yang bisa diberikan, di antaranya melalui penataan pasar dengan regulasi yang lebih baik lagi, harmonisasi dari hulu ke hilir, serta jaminan kepastian pasokan bahan baku.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi meminta pemerintah memberikan dukungan intensif terhadap industri nasional. Alasannya, banyak faktor di luar kemampuan industri yang dapat meningkatkan biaya produksi industri, seperti fluktuasi nilai tukar, kenaikan tarif listrik, harga bahan baku termasuk gas, serta pemberlakuan upah minimum baru. Jika pemerintah tidak memperhatikan kesulitan industri, kata Sofjan, sudah dipastikan akan banyak perusahaan yang berhenti operasi. n eh ismial ed: zaky al hamzah
Informasi dan berita selengkapnya bisa dibaca di Republika, terimakasih.