REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pro-kontra mewarnai pencalonan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden pada Pemilu 2014. Banyak yang berharap agar Jokowi mampu mengatasi persoalan bangsa. Namun demikian, tak sedikit yang tak setuju dan menganggapnya sebagai keserakahan.
Di Australia, pencalonan Jokowi sebagai calon presiden oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan begitu menyita perhatian publik dan media setempat. The Sydney Morning Herald (SMH) menyebut sosok Jokowi sebagai figur yang penuh daya tarik. Dalam beritanya, SMH, menulis judul “Indonesia: Jokowi's Pull is Gravitational, but Will He be Allowed to Run for President?”, Sabtu (15/3).
SMH menyebut, gaya kepemimpinan Jokowi ini memberi pengaruh pada orang-orang di sekitarnya. SMH menuliskan, dalam setiap kunjungannya ke berbagai lokasi, orang dengan antusias menyalami Jokowi dan mendengarkan setiap kata yang dilontarkan mantan wali kota Solo itu. Gaya baru Jokowi dalam politik telah memberinya daya gravitasi hampir jutaan masyarakat, mulai dari pemilih kelas bawah hingga menengah.
Meski baru menjabat gubernur Jakarta selama sekitar 18 bulan, namun popularitas Jokowi mampu menjadi favorit mengungguli pesaing lainnya untuk menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Pencalonan Jokowi ini, menurut SMH, menandakan bahwa Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri telah menanggalkan ambisinya sendiri untuk menjadi presiden dan memberikannya kepada Jokowi.
Pelaku pasar pun memberi sinyalemen positif atas pencalonan Jokowi itu. “Satu hal yang saya amati setelah deklarasi pencapresan Jokowi, para pelaku pasar langsung menanggapi positif. Hal ini ditandai dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang langsung naik, nilai mata uang rupiah pun menguat,” tutur seorang mahasiswa Indonesia di Victoria University of Wellington, Muhammad Zakaria Al Anshori, saat dihubungi Republika, pada Sabtu (15/3).
Namun demikian, tak sedikit pula yang mempertanyakan kualitas kepemimpinan Jokowi. Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi mempertanyakan visi Jokowi memimpin Indonesia. Menurut Hasyim, sebagai capres, Jokowi harus menjelaskan visinya kepada masyarakat jika kelak memimpin bangsa.
“Sampeyan kalau mimpin Indonesia akan dibawa ke mana dan diapain negara ini,” kata Hasyim dalam acara Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan di Pondok Pesantren Darul Ma'arif, Bandung, Sabtu.
Menurut Hasyim, masyarakat perlu tahu lebih jauh terkait visi kepemimpinannya. Namun, mantan cawapres yang bersanding dengan Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2009 ini enggan mengomentari lebih jauh terkait pencapresan orang nomor satu di DKI Jakarta tersebut. “Belum bisa dibicarakan sekarang karena belum ada kontak. Kan baru dicapreskan. Kalau sudah dijelaskan (visinya), baru saya bisa kasih komentar,” ujar dia.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Ari Dwipayana menyatakan, pencapresan Jokowi telah mengubah peta politik yang sebelumnya sudah dibangun parpol selain PDIP. Selama ini, kata dia, Jokowi selalu unggul dalam berbagai survei. Hal ini, lanjut dia, membuat berbagai pihak berusaha mendekat ke PDIP. Namun, sebagian lainnya akan segera menyusun strategi untuk menghadapinya. “Itu karena Jokowi diunggulkan,” kata Ari, kemarin.
Ari memprediksikan, pada Pemilu Presiden 2014, kemungkinan hanya akan diikuti tiga kandidat. “Jokowi, ARB (Aburizal Bakrie), dan Prabowo,” kata dia. Mengenai pasangan Wiranto-Hary Tanoesudibjo (Win-HT), diperkirakan harus bekerja keras untuk mencapai ambang batas Pemilu Presiden 2014. n wahyu saputra/c57/c30/c63 ed: syahruddin el-fikri
Informasi dan berita lainnya selengkapnya bisa dibaca di Republika, terimakasih.