REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan, setengah dari kasus yang dilimpahkan Bank Indonesia adalah gadai syariah. Umumnya, kasus itu terjadi ketika nasabah tak bisa kembali membayarkan sewa-menyewa. Akibatnya, nasabah tak bisa mendapatkan kolateral yang dikelola bank atau pegadaian.
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti Sandriharmy Soetino, mengatakan, pasca pelimpahan fungsi dan tugas pengawasan lembaga keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendapat limpahan 200 kasus dari Bank Indonesia. "Dari 200 kasus yang belum terselesaikan itu, 50 persen di antaranya adalah gadai syariah," ujarnya, di Jakarta, pekan lalu.
Ia mengemukakan, saat ini 200 kasus yang dilimpahkan masih diverifikasi. Artinya, apakah kasus tersebut dalam bentuk perselisihan atau pelanggaran. Jika pelanggaran, tutur dia, maka akan diteruskan ke penyelesaian sengketa.
Rata-rata kasus ini terjadi di Jawa Barat dan nasabah mengalami masalah dalam membayarkan kembali pembiayaan mereka. ''Kami belum bisa berbicara banyak karena masih diverifikasi,'' tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, pengamat ekonomi syariah Agustianto mengatakan, sebaiknya bank syariah bijak dalam menganalisis niat nasabah dalam menggunakan dana dari gadai syariah. Ia menegaskan, terkait begitu banyaknya kasus dalam gadai syariah, ia yakin hal itu terkait penurunan harga emas. Karena dalam beberapa tahun terakhir harga emas meningkat hingga kisaran 20 persen.
Ketika itu, nasabah sering kali menggunakan kenaikan harga emas untuk membayar utang dan biaya sewa kepada perbankan atau pegadaian syariah. "Hanya saja, ketika emas turun, nasabah tak mampu membayar utang mereka," tuturnya.
Kalau hal ini terjadi, tak mengherankan jika timbul masalah. ''Kalau naik hanya sepuluh persen, kemungkinan tak bisa menutupi biaya gadai, begitu juga dengan penurunan,'' ujar dia ketika dihubungi Republika, Senin (17/3).
Ia pun berharap agar bank syariah lebih cermat dan teliti melihat profil nasabah. Selain itu, bank syariah juga patut memperingatkan bahaya spekulasi sejak awal dibuka. Sebab, seharusnya gadai syariah itu digunakan untuk menggerakan sektor riil.
Artinya, pembiayaan yang nasabah dapat dari bank digunakan untuk menjalankan usaha. "Bukan untuk kebutuhan konsumtif, apalagi spekulatif," tegasnya.
Terkait tujuan spekulatif, ia menyatakan jelas sangat bertentangan dengan aturan syariah. ''Minimal untuk kebutuhan konsumtif, walau patut diingat nasabah juga harus mampu menutupi biaya gadai,'' tutur dia.
Gadai syariah berkembang pasca keluarnya Fatwa DSN MUI Nomor 25 tahun 2002 tentang rahn, Fatwa DSN MUI No 26 tahun 2002 tentang rahn emas, dan Fatwa DSN MUI No 68 tahun 2008 tentang rahn tasjily. Sejak DSN memuluskan aturan soal gadai syariah, maka akad gadai syariah, khususnya emas, pun hadir di perbankan atau pegadaian syariah. N ichsan emrald alamsyah ed: irwan kelana
Informasi dan berita lain selenngkapnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.