REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (CORE Indonesia) mengingatkan agar kualitas sumber daya manusia (SDM) ditingkatkan menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. Sebab, saat era pasar bebas di kawasan ASEAN itu diberlakukan, tenaga kerja asing terampil atau profesional (skill workers) dan tak terampil semakin banyak yang masuk ke Indonesia.
Saat ini, sistem free flow tenaga kerja atau tenaga kerja asing yang masuk di Indonesia sudah dibolehkan meski sebatas tenaga kerja asing terampil (profesional) seperti dokter, insinyur, atau konsultan serta profesi tertentu. Kondisi ini akan berubah bila MEA pada 2015 diberlakukan. "Keadaan ini akan mengancam Indonesia dalam MEA nanti," kata Direktur CORE Indonesia, Hendri Saparini, di Jakarta, Rabu (19/3).
Hendri mengatakan, saat ini sebagian besar pengangguran di Indonesia adalah lulusan SMP ke bawah. Sedangkan di negara lain ASEAN, 80 persen pendidikan penduduknya lulusan SMA hingga perguruan tinggi. Skill workers mereka bisa mengancam SDM Indonesia. "Ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah," kata Hendri.
Pemerintah diminta segera mengambil tindakan. Mengambil peran dalam menjaga lapangan pekerjaan di negeri sendiri dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru. "Jangan sampai pekerja yang sudah bekerja kehilangan pekerjaannya," ujarnya. Apabila free flow tenaga kerja asing semakin meluas, bisa dipastikan tenaga kerja di dalam negeri akan kalah bersaing.
Apabila pekerja dari Filipina datang dengan kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik, tentunya perusahaan akan memilih pekerja asing tersebut. Bahkan, pekerja dari Vietnam bersedia dibayar lebih murah. Atau, pekerja asal India dan Bangladesh yang rela dibayar sepertiga dari pekerja Indonesia. Keadaan ini harus segera diubah sebelum MEA benar-benar berlangsung. Apabila keadaannya masih seperti ini, secara makro akan berdampak pada neraca perdagangan, jasa, hingga neraca modal.
Sebab, akan banyak pekerja yang masuk ke Indonesia dan sedikit yang sanggup bersaing kerja ke luar negeri. Tentu, hal ini akan berdampak pada kantong pemerintah. Jumlah pekerja TKI semakin menurun, sementara harus membayar banyak dengan kuota pekerja asing yang meningkat. Data Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang diterbitkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) selama tahun 2013, tercatat sebanyak 68.957 orang TKA bekerja di Indonesia.
President Boston Institute for Developing Economies, Profesor Gustav Papanek, menjelaskan, Indonesia berpotensi mengalahkan Cina dalam lima tahun ke depan. Saat ini, Cina mendominasi lapangan kerja, tetapi jumlah penduduk usia produktif negara itu tidak sebanyak Indonesia. "Cina kelak tidak memiliki daya saing lagi dalam tenaga kerja," katanya di Jakarta, Rabu (19/3). Upah akan kian meninggi, usia pekerja semakin menua sehingga jumlah pekerja semakin sedikit.
Gustav menjelaskan, Pemerintah Indonesia hanya membelanjakan kurang dari satu persen untuk infrastruktur. Keadaan ini perlu ditingkatkan kembali menjadi lima persen. Sumber pendanaan bisa diperoleh dari subsidi bahan bakar. Kegiatan ekspor Indonesia juga diprediksi meningkat 34 persen per tahunnya.Pemerintah Indonesia juga disarankan untuk membangun klaster industri di luar Jakarta. Sebab, harga tanah dan upah bisa lebih rendah.
Penduduk Indonesia dianggap lebih cerdas dari Bangladesh atau Vietnam. Kedua negara tersebut mampu membuat pabrik yang berada di dekat pelabuhan sehingga tidak perlu terkendala jalan dalam proses distribusi. "Apabila kedua negara tersebut mampu melakukan hal demikian, seharusnya Indonesia juga bisa. Bahkan, lebih di atas negara tersebut," katanya. n nora azizah ed: zaky al hamzah
Informasi dan berita lain selengkapnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.