Senin 24 Mar 2014 12:23 WIB

Taiwan Butuh Cina

Presiden Taiwan Ma Ying Jeu
Foto: AP
Presiden Taiwan Ma Ying Jeu

REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI - Taiwan tak ingin melepaskan hubungan dagang dengan Cina. Pemerintah di Taipei menilai perjanjian perdagangan dengan Cina sangat penting bagi perekonomian negara tersebut. Presiden Taiwan Ma Ying-jeou, Ahad (23/3), mengatakan, pakta perdagangan dengan Cina dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Taiwan. Oleh karena itu, Ma meminta pengunjuk rasa yang menduduki parlemen untuk menghormati demokrasi serta meninggalkan gedung dewan tersebut. .

"Apakah kita tidak bangga pada demokrasi dan aturan hukum Taiwan? Jika tidak ada aturan hukum, demokrasi tidak dapat dilindungi. Ini adalah posisi dasar pemerintah," kata Ma.

Ma sendiri mengaku memahami keinginan para demonstran yang kebanyakan merupakan pemuda. Namun, dia menambahkan, langkah ilegal mereka yang menduduki parlemen dapat mempengaruhi kinerja pemerintahan, sehingga ia pun meminta para demonstran untuk mundur.

Dalam perjanjian perdagangan tersebut, Cina akan membuka 80 sektor jasa untuk Taiwan. Sebaliknya Taiwan akan membuka 64 sektor untuk pengusahan Cina. Perjanjian ini belum sepenuhnya berlaku, karena masih harus diratifikasi terlebih dahulu oleh parlemen Taiwan.

Ratusan demonstran yang mayoritas adalah mahasiswa telah menduduki gedung dewan selama lima hari terakhir untuk menggagalkan pakta perdagangan ini. Para aktivis tak sepakat dengan pemerintah. Mereka justru khawatir perjanjian dagang ini akan berdampak buruk bagi Taiwan. Sejumlah mahasiswa takut tak dapat bersaing dengan Cina.

Namun menurut Ma, perekonomian Taiwan justru akan jatuh jika perjanjian dengan negara ekspor terbesar itu tidak ditandatangani. "Saya katakan, dengan sikap bertanggung jawab, bahwa perjanjian ini dilakukan demi masa depan perekonomian Taiwan," kata Ma.

Ma dan Partai Kuomintang yang berkuasa telah mempromosikan perjanjian ini ke publik. Parlemen pun sedang meninjaunya sejak 8 April lalu. Ma berharap perjanjian ini akan mempertahanan daya saing dan status Taiwan sebagai negara ekspor pembangkit tenaga listrik.

Selain itu, perjanjian ini dinilai sebagai prasyarat bagi Taiwan untuk bergabung dengan Trans-Pacific Partnership yakni kesepakatan perdagangan antar 12 negara yang dipelopori oleh Amerika Serikat.

Partai oposisi utama Progresif Demokratik mengatakan khawatir kesepakatan perdagangan itu akan melukai perusahaan jasa kecil dan merusak perekonomian Taiwan.

Taiwan dan Cina sendiri telah terpisah sejak Komunis 1949. Meskipun begitu, hubungan kedua negara itu saat ini telah menghangat sejak Presiden Ma berhasil memenangkan kursi pemerintahan pada 2008 dan kembali terpilih pada 2012.

Beberapa waktu lalu kedua negara telah melakukan diplomasi tingkat tinggi pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir. Hingga kini, Cina masih menganggap Taiwan sebagai bagian dari provinsinya.n dessy suciati saputri/reuters ed: teguh firmansyah

Informasi dan berita lain selengkapnya sila dibaca di Republika, terimakasih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement