REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Selamat Ginting
Panas yang menyengat di Ibu Kota menjadi semakin panas dalam kampanye putaran akhir Pemilu 1997. Kawasan Mampang Prapatan dan Warung Buncit, Jakarta Selatan, yang menjadi kantong suara bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada sore, awal Mei 1997, itu dipenuhi lautan massa.
Mereka menggunakan atribut berwarna hijau, warna khas PPP. Baik kaus, kemeja, jaket, rompi, jas, topi, maupun spanduk dan poster didominasi warna hijau. Massa baru saja menghadiri kampanye nasional di sebuah lapangan kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Selama pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru, partai dengan lambang bintang itu 'merajai' kawasan Tebet maupun Mampang Prapatan.
"Saya hakul yakin PPP akan tetap menang di Kecamatan Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet, dan Kebayoran Lama," kata Ketua Umum PPP Buya Ismail Hasan Metareum dalam kampanye. Kampanye juga dihadiri Sekretaris Jenderal PPP Tosari Widjaja dan sekretaris manajer kampanye Bachtiar Chamsyah.
Namun, usai kampanye di Tebet, tiba-tiba terjadi kerusuhan yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Pasukan huru-hara Kodam Jaya melepaskan tembakan gas air mata ke arah kerumunan massa. Pasukan yang menggunakan masker itu bersiaga di depan Kompleks Zeni Angkatan Darat, Mampang Prapatan.
Kerusuhan di kantong suara PPP itu pun tak terhindarkan.Terjadi pertempuran saling lempar batu selama sekitar 1,5 jam di jalan raya. Massa melempari aparat keamanan, kemudian bersembunyi di sejumlah gang. Aparat pun mengejar massa sambil melempari batu dan melepaskan gas air mata serta peluru hampa udara. Wartawan terjebak di tengah-tengah.
Beruntung, saya bisa menyelamatkan diri dari perang batu, tapi tiba-tiba mata saya perih. Percikan gas air mata yang terbawa angin, sore itu, masuk dari sela-sela kacamata. Saya tetap berlari walau mata harus dipicingkan. Setelah 15 menit, rasa pedih di mata pun hilang.
"Pakai odol untuk menghindari gas air mata," kata seorang teman. Entah benar atau tidak, tetapi sarannya saya ikuti. Lalu, saya membeli pasta gigi dari warung yang berada di sebuah gang.
Perlahan-lahan, seorang teman wartawan foto Gagarin, mengolesi wajah saya yang berkulit sawo matang itu dengan pasta gigi. Ia tertawa terpingkal-pingkal, seolah lupa dengan peristiwa sebelumnya. Mungkin wajah saya jadi mirip penari asal Papua. Tak lupa, ia pun memotret wajah saya yang coreng moreng itu.
Kami pun kembali masuk arena pertempuran batu. Posisi tentara ada di sebelah timur, sedangkan massa ada di bagian barat. Wartawan terpecah, ada di bagian timur maupun barat.
Saya ada di sebelah barat yang berhadap-hadapan dengan TNI.Tidak ada kendaraan sipil dan umum yang berani melalui jalan tersebut. Hanya, sejumlah sepeda motor trail dan panser TNI yang berani melintas. Suasana itu terjadi dari persimpangan Jalan Tendean sampai lampu merah Gedung Republika.
Massa makin beringas setelah beredar kabar ada seorang pemuda tewas dalam kerusuhan itu. Entah siapa pelakunya. Jalan sepanjang Mampang dan Warung Buncit penuh bebatuan, kayu, balok, besi, dan peluru hampa.
Menjelang senja, dari pengeras suara sebuah masjid yang berada di pinggir jalan raya muncul imbauan agar massa membubarkan diri karena waktu sholat Magrib tiba. Sejumlah pemuka agama dan masyarakat meminta massa dan aparat TNI menghentikan perang batu.
Pada akhir Mei 1997, dalam konferensi pers, Sekjen PPP Tosari Widjaja mengungkapkan, dari 10 kecamatan di Jakarta Selatan, partai bernomor urut satu itu tetap menang di empat kecamatan, yakni Tebet, Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, dan Pancoran.
Jakarta Selatan merupakan wilayah Jakarta yang terbanyak jumlah pendukung partai berwarna hijau itu. Insiden Mampang turut mengangkat suara PPP yang menang telak di perkampungan Betawi itu. "Pemilu berjalan lancar, aman, tetapi curang," kata Tosari di Kantor Pusat PPP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
PPP begitu yakin akan kembali menang di Jakarta, seperti Pemilu 1977. Mereka beralasan, bahwa partai bintang mampu 'menghijaukan' Jakarta melalui pawai, arak-arakan, dan kampanye yang dihadiri lautan massa. Tapi, mereka terkejut karena dukungan yang meriah itu tidak mengalir ke kotak suara. Golkar tetap unggul di Ibu Kota. n ed: fitriyan zamzami
Informasi dan berita lain selengkapnya sila dibaca di Republika, terimakasih.