REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Koordinasi pemerintah dalam mewujudkan konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) dianggap masih lemah. Padahal, program ini mendesak menyusul semakin masifnya impor minyak.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo menyatakan, pemerintah berkomitmen melaksanakan konversi tersebut. “Saat ini, impor minyak hingga mencapai 500 ribu sampai 600 ribu barel per hari. Hal ini berimbas pada tertekannya neraca transaksi berjalan yang berujung pada pelemahan nilai tukar rupiah. Makanya, kita harus kurangi impor dan kuncinya adalah konversi BBM ke BBG,” ujar dia, Kamis (27/3).
Salah satu program yang digalakkan oleh pemerintah adalah program konversi BBM ke BBG untuk transportasi jalan. Menurut Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bambang Adi Winarso, keberadaan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2012 telah membagi peranan setiap instansi, khususnya di tingkat kementerian, dalam melaksanakan program ini.
Misalnya, Kementerian ESDM menyediakan alokasi gas. Kementerian Perindustrian menyediakan dan memfasilitasi pemasangan konverter kit. Kementerian Perhubungan mengatur, membina, dan pengawasan bengkel kendaraan BBG hingga keselamatan kendaraan BBG.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan mengenai aspek keselamatan tabung yang digunakan dalam penggunaan BBG untuk transportasi jalan. “Tingkat koordinasi sebenarnya sudah selesai,” ujar dia. Akan tetapi, Bambang mengibaratkan implementasi program ini layaknya telur dan ayam.
Misalnya, saat Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) berkeinginan untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), kendaraan yang telah dilengkapi konverter kit masih minim. Selain itu, aspek keselamatan penggunaan gas pada kendaraan juga masih diragukan. Hal ini adalah buntut dari lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah tersebut.
Ketua Umum DPP Hiswana Migas Eri Purnomo Hadi menjelaskan, program ini hanya akan berhasil bila semua pihak bekerja sama dengan baik. “Dibutuhkan koordinasi yang lebih solid antarinstansi terkait. Intinya, jangan sampai bangun SPBG, ujung-ujungnya mangkrak sehingga membuat pengusaha menjadi patah semangat,” kata dia.
Menurut dia, para pengusaha yang tergabung dalam asosiasi sebenarnya memiliki komitmen untuk menyukseskan konversi BBM ke BBG. Caranya adalah membangun SPBG. Akan tetapi, margin keuntungan pembangunan SPBG harus diimbangi oleh tingginya volume kendaraan yang mengisi BBG. Tidak hanya bus yang telah memiliki rute tetap seperti Transjakarta, tapi juga kendaraan yang biasanya mengisi BBM. Akibatnya, bisnis ini jadi kurang menarik. n muhammad iqbal ed: fitria andayani
Informasi dan berita lain selengkapnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.