oleh: Arif Satria
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB--Di tengah suasana koalisi partai politik, baru saja Indonesia menjadi tuan rumah World Coral Reef Conference pada 13-16 Mei 2014 di Manado. Ini merupakan ajang penting kerja sama internasional dalam pelestarian terumbu karang. Dunia internasional makin menyadari bahwa menangani upaya ini tidak bisa sendiri. Tentu, ini karena kondisi ekosistem terumbu karang sebuah negara akan sangat berpengaruh terhadap sumber daya laut global. Kesadaran akan pentingnya terumbu karang ini telah mendorong tumbuhnya kawasan konservasi laut. Lalu, apa hubungan kawasan konservasi laut terhadap kesejahteraan nelayan?
Motif nelayan
Ada sejumlah bentuk hubungan nelayan dengan terumbu karang. Pertama, hubungan eksploitatif, yakni hubungan yang tercipta dalam bentuk eksploitasi perikanan oleh nelayan melalui aktivitas yang merusak terumbu karang, seperti pengeboman, pembiusan ikan, serta penambangan karang. Kondisi inilah yang telah membuat rusaknya terumbu karang.
Bayangkan saja status terumbu karang sangat baik hanya enam persen. Kedua, hubungan konservasi, yakni hubungan yang tercipta dalam bentuk pelestarian terumbu karang. Hubungan konservasi ini dilatarbelakangi sejumlah motif, yaitu motif ekologis, motif kultural, dan motif bisnis. Masyarakat sebuah wilayah memiliki motif yang berbeda dengan wilayah lain.
Motif ekologis merupakan wujud kesadaran penuh nelayan terhadap fungsi penting kelestarian terumbu karang untuk keberlanjutan perikanan. Beberapa model pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat yang diinisiasi oleh LSM, perguruan tinggi, maupun pemerintah biasanya dibangun atas kesadaran ekologis nelayan ini. Pendekatan teknokratik ini penting untuk masyarakat pesisir yang sudah semakin berpendidikan.
Motif kultural terinspirasi oleh nilai-nilai budaya lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Nilai-nilai tersebut berisi pemahaman holistik terhadap sumber daya alam bahwa terdapat hubungan kesalingtergantungan antarekosistem: hutan, sawah, dan laut. Ini bisa dilihat dari praktik Sawen di Lombok sebelum tahun 1965-an dan Sasi di Maluku yang hingga kini masih berlaku.
Motif bisnis merupakan wujud nilai-nilai pasar dalam upaya pelestarian terumbu karang yang dianggap akan mendatangkan keuntungan ekonomi. Ekosistem terumbu karang yang baik akan menjadi lokasi wisata penyelaman yang baik pula dan tentu akan mendatangkan wisatawan bahari. Namun, lambat laun motif bisnis ini juga melebur dengan motif ekologis karena pada akhirnya masyarakat akan sadar fungsi-fungsi ekologis terumbu karang.
Apa pun motifnya, tentu harus diapresiasi. Hal ini karena secara konseptual pelestarian terumbu karang yang efektif akan berdampak positif terhadap kesejahteraan nelayan. Kondisi terumbu yang baik akan kondusif bagi ikan untuk bertelur atau memijah. Pada gilirannya nanti, akan meningkatkan populasi ikan. Dengan kondisi sumber daya ikan yang melimpah, akan meningkatkan ketahanan pangan sekaligus pendapatan.
Namun pertanyaannya, bagaimana ragam motif nelayan tersebut bermanfaat untuk pengembangan kawasan konservasi laut (KKL) yang memang merupakan instrumen pelestarian terumbu karang?
Kawasan konservasi
Data pemerintah menunjukkan bahwa jumlah KKL tahun 2013 mencapai 131 kawasan, terdiri dari 99 kawasan seluas 11,07 juta hektare, diinisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan pemerintah daerah dan 32 milik Kementerian Kehutanan seluas 4,69 juta hektare. Jadi, total luas KKL di Indonesia sudah mencapai 15,7 juta hektare. Pada 2020 ditargetkan mencapai 20 juta hektare. Apakah KKL tersebut efektif ?
Tentu, KKL tersebut efektif dalam pengendalian pengeboman ikan, penangkapan spesies yang dilindungi, serta penambangan karang. Namun, ada tiga isu pokok yang mesti diperhatikan. Pertama, KKL belum efektif untuk membuktikan berapa banyak kelimpahan stok sumber daya setelah adanya aktivitas konservasi? Inilah yang sebenarnya ingin diketahui publik. Karena itu, diperlukan penyempurnaan instrumen monitoring.
Kedua, masih sering terjadi konflik antara pengelola KKL dan nelayan. Ini biasanya dipicu oleh tumpang-tindihnya zona inti (no take zone) dengan daerah penangkapan ikan nelayan lokal. Proses penetapan zonasi yang tidak partisipatif menjadi faktor utamanya. Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana merekonsiliasi hubungan konservasi dengan perikanan melalui proses pengembangan KKLsecara partisipatif sehingga nelayan tidak merasa disingkirkan oleh kebijakan KKL.
Ketiga, ada sejumlah masyarakat nelayan yang telah membumikan konservasi laut dengan ragam motif konservasi yang dimilikinya (ekologis, kultural, bisnis). Karena itu, agendanya adalah bagaimana memberdayakan nelayan yang telah memiliki ragam motif konservasi di atas untuk memperkuat KKL.
Dalam hal ini, sebenarnya ada kepentingan yang sama antara pemerintah dan nelayan, yakni sama-sama ingin mengonservasi laut. Mengingat nelayan juga telah memiliki aturan main dalam menjalankan konservasi lokal, sangat penting dijadikan pertimbangan dalam penetapan aturan main KKL. Harmonisasi model KKL pemerintah dan masyarakat menjadi kuncinya. Upaya memosisikan nelayan secara terhormat dalam KKL ini merupakan pintu masuk untuk menyejahterakan nelayan.
Bila Indonesia mampu menyelesaikan ketiga isu tersebut, akan menjadi contoh bagi dunia internasional. Hal ini mengingat Indonesia adalah salah satu pemilik terumbu karang terluas di dunia. Apakah kita mampu menjadi inspirasi dunia dalam pelestarian terumbu karang yang menyejahterakan nelayan? Semoga.