Keriuhan pemilu benar-benar mengepung. Mata kita kenyang dengan gambar-gambar baliho capres-cawapres. Telinga kita pekak dengan seruan-seruan para kandidat. Media massa tak kurang sibuknya. Waktu dan kolom media penuh dengan kata-kata bujukan—sebagian memang tak malu-malu menunjukkan keberpihakan.
Para kandidat pun seru berdebat di panggung televisi. Agenda-agenda diadu. Gagasan dilombakan. Semua dengan harapan agar masyarakat dapat lebih mudah menentukan pilihan.
Pada saat yang sama, harga-harga mulai melonjak. Catatan Republika (9/6) menunjukkan terjadinya kenaikan harga bahan-bahan pangan, seperti beras, daging sapi, telur ayam, hingga sayuran, bawang merah, dan cabai. Harga bahan-bahan pangan itu diperkirakan bakal terus meninggi karena kita akan segera menemui Ramadhan dan Lebaran, saat konsumsi akan segala hal melonjak.
Usaha-usaha kecil dan menengah pun mulai menjerit. Mereka berhadapan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik. Tanpa tindakan lain pemerintah yang bersifat mendukung, misalnya, berupa kemudahan perizinan dan keringanan pajak, atau pemberantasan pungli-pungli, akan habislah mereka.
Mudah-mudahan, kita tidak benar-benar pekak dan buta menghadapi situasi ekonomi yang amat nyata ini. Pemilu hanyalah salah satu prosedur demokrasi, bukan tujuan utama. Kita mengandaikan pemilu sebagai jalan untuk menemukan pemimpin yang membawa kita mencapai kesejahteraan. Jangan sampai para elite terlena dengan hiruk-pikuk kampanye dan pemilu, lalu lupa situasi yang sedang terjadi di akar rumput.
Kenaikan harga mengancam daya beli kelompok masyarakat terbawah. Pemerintah dan para elite dalam infrastruktur politik tak bisa lepas tangan atas nama kebebasan pasar. Kendati kehidupan ekonomi negeri kita sejak lama beraroma neoliberal, takluk pada kepentingan Konsensus Washington, kita masih percaya ada tanggung jawab kita dalam merawat kesejahteraan rakyat.
Pemungutan suara akan berlangsung pada 9 Juli, alias di pertengahan suasana Ramadhan dan menjelang Lebaran. Pemerintah saat ini yang merupakan produk demokrasi perlu mulai mengadakan langkah stabilisasi, agar harga-harga tidak bergerak liar. Calon pemerintah mendatang yang sedang bertarung di arena pemilu tak bisa pula lepas tangan dan bertindak seakan-akan masyarakat tidak sedang menghadapi kesulitan.
Salah memilih pemimpin dapat membawa kita pada situasi ekonomi yang memburuk. Kemelut ekonomi kita pada masa lalu berawal pada kesalahan pemimpin yang tergoda untuk melakukan liberalisasi pasar secara prematur tanpa didahului pengembangan regulasi yang memadai. Padahal, sudah menjadi pandangan umum bahwa sedikit liberalisasi lebih berbahaya dibandingkan tidak ada liberalisasi.
Setidaknya, dari hiruk-pikuk pemilu, kita juga bisa menilai kandidat mana yang benar-benar memihak kepada ekonomi rakyat. Kita tahu titik berangkat ekonomi masyarakat tidak semua bermula di titik nol. Ada kelompok-kelompok yang sejak awal menikmati fasilitas. Mereka memiliki pengetahuan dan amat mudah mendapatkan modal. Sementara, ada kelompok lain yang tak pernah mendapatkan fasilitas, bahkan tak tahu cara mengakses perbankan.