Kamis 12 Jun 2014 12:41 WIB

Gejolak Harga Barang

Red:

Harga barang-barang yang tergolong sembilan bahan pokok (sembako), seperti: beras, gula pasir, gula jawa, cabai, minyak goreng, telur, dan bawang mengalami gejolak (kenaikan). Kondisi ini sangat mencekik leher rakyat. Kenaikan harga kebutuhan pokok secara khusus menjelang dan selama Ramadhan diduga karena naiknya permintaan kebutuhan pokok, kecenderungan perilaku konsumtif masyarakat selama bulan puasa.

Dilihat dari kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian dan pangan mengalami kegagalan karena sumber daya (anggaran terbatas), buruknya tata niaga, panjangnya mata rantai perdagangan, prasarana pendukung tidak optimal, kebijakan bersifat parsial, antarsektor tidak sinkron, dan kebijakan di lapangan tidak efektif. Selain itu, kondisi infrastruktur yang buruk dan memicu mahalnya biaya logistik juga tidak pernah mendapat perhatian penuh. Apalagi, kemacetan angkutan barang di pelabuhan tidak bisa diatasi secara serius. Di samping itu, pemerintah juga terlihat membiarkan banyaknya pihak-pihak yang mengambil kesempatan (keuntungan) dari gejolak pasar.

Pemerintah seharusnya tidak mengabaikan gejolak kenaikan harga bahan-bahan yang setiap hari harus dibeli rakyat ini. Negara-negara maju selalu menempatkan stabilitas harga kebutuhan pokok rakyat sebagai prioritas tertinggi. Pemerintah-pemerintah itu mulai mengambil langkah-langkah drastis untuk menjaga pasokan makanan, seperti melarang ekspor makanan atau meningkatkan subsidi produksi lebih luas.

Bagaimana dengan kita? Jika mencermati pemicu kenaikan harga bahan pokok dalam beberapa hari ini, semua tidak terlepas dari dua hal, yakni lemahnya koordinasi antarpejabat tinggi negara alias para pembantu presiden dalam bidang ekonomi berikut para staf ahlinya, serta keengganan melihat keluar (outward looking) untuk mengalkulasi peluang dan besar-kecilnya risiko. Dua faktor ini bukan hal baru. Pada hakikatnya justru menjadi kelaziman sehingga pengimplementasiannya tak lagi memerlukan instruksi atau perintah khusus.

Pemerintah Indonesia mestinya belajar kepada pemerintahan Evo Morales di Bolivia. Tidak mau digencet terus oleh kenaikan harga pangan dunia dan permainan perusahaan pertanian asing, Pemerintah Bolivia mengesahkan undang-undang untuk menjamin ketahanan pangan untuk rakyatnya. UU baru itu akan memaksa perusahaan negara untuk menyediakan bibit dan teknologi pertanian bagi petani. Selain itu, UU itu juga mengucurkan dana dana sebesar 500 juta dolar AS untuk menjamin produksi pertanian. Atau, kita bisa pula melihat pengalaman Pemerintah Cina. Perdana Menteri Cina, Wen Jinbao, memerintahkan pembentukan dewan negara yang bertugas menetapkan batas maksimum kenaikan harga, subsidi untuk sembako rakyat, dan hukuman berat kepada para penimbun.

Kita berharap pemerintah bekerja dan berperan secara cermat. Sebelum harga-harga semakin tidak terkendali, pemerintah sebaiknya melakukan operasi pasar di pusat-pusat kebutuhan masyarakat. Selama ini operasi pasar hanya menjangkau masyarakat tertentu. Pemerintah harus memastikan bahwa kebutuhan masyarakat yang paling penting yang harus paling diutamakan. Pemerintah juga perlu kecermatan dalam menghitung stok bahan pokok utama dan politik pangan pemerintah akan sangat menentukan hingga tingkatan berapa kenaikan harga bahan pokok itu bisa ditoleransi.

Selain itu, pemerintah harus berani memberi sanksi tegas kepada mereka yang melakukan praktik-praktik culas, seperti penipuan, penimbunan, monopoli, atau memainkan harga sesukanya. Pemerintah tidak perlu takut untuk bertindak guna menyelamatkan kepentingan yang lebih besar. Bukan pemerintah malah lari dengan mengatakan bahwa semua ini adalah mekanisme pasar bebas.

Upaya lain adalah pemerintah harus menjalin kerja sama dengan pengusaha dan pedagang besar supaya harga-harga tidak bergerak semakin liar. Memberikan mereka kemudahan transportasi, jaminan tanpa adanya kutipan liar, atau prioritas dalam berdagang, adalah kompensasi jika mereka bisa dan mau mengerem profit yang mereka berikan di dalam produk mereka. Yang kita butuhkan adalah pemerintah bisa mengendalikan keadaan.

Tak kalah penting, pemerintah juga perlu mendampingi para petani agar mereka bisa keluar dari masa krisis akibat perubahan iklim. Hal ini perlu dilakukan agar kelak petani tidak selalu kewalahan pada saat perubahan iklim terjadi. Dengan demikian, hasil produksi tidak menurun tajam.

Agaknya, kita perlu belajar pada semut di mana mereka selalu melakukan persiapan persediaan bahan makanan di saat musim penghujan (perubahan iklim) akan datang, daripada terus bereaksi di saat perubahan iklim sudah datang dan hasil panen telah menurun drastis. Kita tidak ingin gejolak harga pangan menjadi penyakit tahunan yang kambuh setiap menjelang Ramadhan dan Lebaran.

Joko Riyanto

Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan

(Puskalitba) Solo

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement