Pada akhir 1970-an, Paul Volcker, gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS), melakukan terapi kejut atas kebijakan ekonomi nasional. Untuk mengubah sistem ekonomi yang terencana ala Keynesian dengan utang menggunung dan defisit gila-gilaan, Volcker membuat langkah-langkah keras dengan memainkan suku bunga perbankan.
Hasilnya, angka pengangguran di AS melompat tinggi, industri banyak yang terkubur, inflasi naik, dan orang miskin bertambah. Tapi, kondisi ini terjadi hanya sementara. Setelah terapi kejut ini bekerja, kehidupan di Amerika bergerak ke arah lebih baik. Perbankan hidup kembali, industri melangkah optimistis, dan rakyat kembali mendapatkan pekerjaan.
Terapi kejut Volcker membuahkan hasil positif meski pada awalnya melahirkan kesengsaraan dan penderitaan. Ekonomi AS kembali ke trek yang benar. Bahkan, semasa pemerintahan Bill Clinton, negara ini mencatat surplus neraca pembayaran.
Kita tidak sedang berada dalam krisis ekonomi seperti yang dialami AS pada era 1980-an dan sekarang. Namun, berkaitan dengan Pilpres 2014, kita belum menemukan formula hebat dari kedua kandidat untuk memperbaiki kehidupan ekonomi dan demokrasi bangsa ini.
Dalam debat resmi yang digelar KPU, kita lihat kedua pasangan hanya sekadar menyampikan hal-hal normatif yang bersifat hapalan. Tak ada sebuah rencana besar atau gelombang dahsyat yang mereka tawarkan untuk membawa rakyat hidup lebih sejahtera dan aman. Tak ada terapi kejut yang akan mengangkat ekonomi bangsa jauh lebih baik dan pendapatan nasional terdistribusi dengan adil.
Visi dan misi ekonomi kedua kandidat capres juga masih biasa-biasa saja. Ide-ide segar dan baru untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, misalnya, belum ada yang muncul. Platform ekonomi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta untuk mendistribusikan kue ekonomi dan pendapatan per kapita secara merata tidak terlihat jelas, apalagi berharap ada terapi kejut di sana.
Terobosan untuk menciptakan demokrasi yang setara bagi seluruh rakyat pun tidak tampak. Platform mereka untuk memperbaiki demokrasi yang dirasakan seluruh masyarakat Indonesia hanya merupakan catatan kecil yang tidak begitu berarti jika dijalankan. Mereka tidak bisa memberikan penjelasan rinci seperti apa yang disebut berdiri di atas semua golongan. Atau, menghormati mayoritas dan melindungi minoritas.
Parahnya, kedua kandidat masih memisahkan persoalan ekonomi dan politik secara partikular. Mereka tidak bisa menjelaskan kaitan antara masalah dan ekonomi politik sehingga platform yang ditawarkan pun hanya berupa pelajaran dasar mahasiswa di semester satu. Kedua kandidat masih melihat masalah ekonomi hanya bisa diselesaikan dengan cara ekonomi saja, dan sebaliknya, masalah politik hanya bisa dibereskan dengan jalan politik saja.
Melihat kondisi ini, tentu susah sekali bagi kita untuk melihat para kandidat menawarkan terapi kejut yang bisa memajukan Indonesia. Sebuah terapi yang pada awalnya mungkin membuat seluruh bangsa susah, tetapi setelah itu kita bangkit dan berlari cepat. Dampaknya, tidak hanya mampu menyejahterakan rakyat tetapi juga bangsa ini semakin disegani di tingkat internasional.
Terapi kejut kita perlukan agar persoalan kemiskinan, pengangguran, dan pendapatan rendah tidak menjadi masalah laten alias abadi. Ini bukan salju di Himalaya yang harus ada sepanjang tahun, namun semua hal di atas adalah persoalan krusial menyangkut semakin tingginya ketimpangan ekonomi dan sosial kita. Jika tidak ada terapi kejut, kita khawatir negara ini hanya jalan di tempat, sedangkan bangsa-bangsa lain sudah berlari kencang di depan kita.
Kita tidak ingin memilih pemimpin yang hanya bisa melanjutkan kebijakan lama atau mengubah kebijakan lama dengan kebijakan lebih usang. Kita ingin presiden dan wakil presiden kita yang baru mampu membuat terobosan-terobosan kuat untuk menghilangkan penyakit-penyakit yang masih menjangkiti bangsa ini.