Meski banyak pihak mengapresiasi kemajuan ekonomi makro yang dicapai Indonesia, namun sayangnya kemajuan ekonomi makro itu belum berdampak banyak bagi kesejahteraan buruh. Hal ini terdeteksi dari tuntutan buruh yang kerap mereka kumandangkan dalam berbagai kesempatan.
Dalam kesempatan memperingati Hari Buruh Sedunia (May Day) 1 Mei lalu, misalnya, ada 10 tuntutan yang disampaikan buruh. Adapun ke-10 tuntutan itu dapat dikelompokkan pada soal upah, jaminan sosial, dan kesejahteraan anak dan keluarganya. Secara keseluruhan, ke-10 tuntutan itu merepresentasikan tuntutan buruh yang mendambakan hidup sejahtera dan bermartabat.
Ternyata bak gayung bersambut, tuntutan buruh itu cepat diakomodir para calon presiden dan wakil presiden dalam kampanye mereka untuk nantinya direalisasikan jika mereka terpilih. Meski demikian, tak sedikit pihak yang belum cukup memahami bagaimana mengimplementasikan kebijakan ketenagakerjaan untuk memenuhi tuntutan buruh dimaksud?
Pekerjaan layak
Secara faktual, tuntutan buruh itu tampaknya baru bisa dipenuhi jika pemerintah berhasil menciptakan pekerjaan yang layak (decent work) bagi buruh. Adapun pekerjaan layak menurut Badan Perburuhan Internasional (ILO) secara konseptual memenuhi empat aspek, yakni hak dasar pekerja, promosi, perlindungan sosial, dan kesetaraan dalam tripartit.
Patut dicatat bahwa pekerjaan layak telah dikumandangkan ILO sejak 1999. Namun, celakanya, hingga kini pekerjaan layak itu masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini tecermin dari jam kerja yang terlalu panjang, perlindungan minim, jaminan sosial rendah, promosi kurang jelas, status pekerjaan tidak pasti, pelatihan minim, dan tempat bekerja kurang representatif.
Secara faktual, pekerjaan tidak layak lebih banyak ditemukan pada sektor informal ketimbang di sektor formal. Di sektor informal, pekerjaan tidak layak terutama pada pekerja bebas, yaitu mereka yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir) dengan menerima upah berupa uang dan atau barang dengan sistem pembayaran harian atau borongan.
Hasil Sakernas Februari 2014, misalnya, menunjukkan sekitar 11,49 juta penduduk bekerja pada status pekerjaan tergolong pekerja bebas. Pekerja bebas dinilai kurang layak karena pekerjaannya tidak stabil dan kurang aman (precarious work).
Sementara pada sektor formal, pekerjaan tidak layak terutama teridentifikasi pada pekerja dengan sistem outsourcing. Diketahui, pekerjaan outsourcing tergolong kurang layak kerena rentan di PHK dan tanpa pesangon, serta tidak memperoleh perlindungan sosial.
Sejatinya, mereka yang bekerja pada pekerjaan tidak layak umumnya memperoleh gaji yang kurang memadai, pekerjaan bersifat jangka pendek, tidak menerima jaminan kesehatan dan perlindungan sosial lainnya, posisi tawar rendah, dan ketidakpastian bekerja. Bahkan, mereka rentan mengalami kecelakaan dan menderita sakit.
Kapabilitas rendah
Namun, hadirnya pekerjaan tak layak itu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sumber daya manusia (SDM) kita yang kapabilitasnya tergolong rendah. Sebagai ukuran kapabilitas adalah pendidikan dan kesehatan.
Pada aspek pendidikan, misalnya, hal itu terlihat dari rendahnya pendidikan yang ditamatkan. Hasil Sakernas Februari 2014, misalnya, menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga (64,6 persen) penduduk yang bekerja berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Dengan pendidikan rendah umumnya produktivitas yang dihasilkan juga rendah sehingga pendapatan yang diterima menjadi kurang layak.
Salah satu aspek penting dalam menyiapkan pekerjaan layak adalah melalui pendidikan, baik melalui pendidikan formal maupun melalui pelatihan keterampilan. Di Inggris, misalnya, meski negara itu tergolong negara maju, namun pemerintahnya terus mengupayakan agar pekerjaan semakin layak. Adapun upaya yang dilakukan adalah pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, khususnya pada pekerja rentan.
Namun, untuk menciptakan pekerjaan layak juga perlu memperhatikan sisi usaha/perusahaan tempat buruh bekerja, terutama soal regulasi terkait dengan hak pekerja. Pemerintah perlu membuat regulasi yang mendukung kelayakan bekerja bagi buruh. Meski demikian, perlu kehati-hatian dalam mendesain regulasi, mengingat regulasi yang terlalu banyak dan kompleks akan semakin menurunkan kemampuan dunia usaha guna mengimplementasikannya (Bernstain.et.al, 2006).
Penciptaan pekerjaan layak memang perlu terus diupayakan untuk mengikuti perkembangan kemajuan ekonomi. Indonesia yang kini masuk kelompok negara G-20 diharapkan tidak hanya merefleksikan kemajuan dan kekuatan ekonominya tapi juga mencerminkan martabat buruhnya.
Sangat diharapkan siapa pun presiden dan wakil presiden terpilih pada Juli mendatang akan mengagendakan program pembangunan ketenagakerjaan yang salah satu di antaranya meningkatkan kesejahteraan dan martabat buruh dengan menyiapkan pekerjaan yang layak.
Namun, untuk jangka panjang, pemerintah yang baru nantinya perlu lebih komprehensif dalam meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, antara lain, melalui peningkatan jenjang pendidikan formal. Sebab, dengan tingkat pendidikan yang kian tinggi, buruh memiliki posisi tawar yang semakin besar untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
oleh:Razali Ritonga
Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI