Sekitar tiga minggu sebelum Ramadhan, petasan dan kembang api dalam berbagai ukuran sudah tampak dipasarkan di berbagai tempat. Seakan-akan, sudah menjadi tradisi, anak-anak usia sekolah dasar di sekitar kita terbiasa menghambur-hamburkan uang.
Entah apa yang ada di benak mereka beberapa tahun terakhir ini. Aksi bakar petasan dan kembang api di tengah-tengah kekhusyukan orang-orang yang menjalankan puasa selalu terulang. Mereka seakan-akan tidak canggung melakukannya, meski ada orang dewasa di sekitarnya.
Ironisnya, meski orang dewasa mengetahui dampak negatifnya, tidak ada yang "berani" mencegahnya. Maka, anak-anak usia sekolah dasar itu dengan leluasa mengganggu orang dewasa yang tengah menjalankan puasa.
Kita memang tidak dapat menyalahkan anak-anak usia sekolah dasar tersebut. Lantaran, anak-anak tersebut tidak mungkin melakukannya bila tanpa keterlibatan orang-orang dewasa. Misalnya, masih ada orang-orang dewasa yang memproduksi dan memperjualbelikan petasan dan kembang api. Masih ada (pula) orang-orang dewasa yang mempertontonkan kebolehannya mempermainkan petasan dan kembang api.
Lebih jauh lagi, masih ada orang-orang dewasa yang memberikan uang untuk membeli petasan dan kembang api kepada anak-anak usia sekolah dasar itu. Sepanjang masih ada orang-orang dewasa yang memberikan uang kepada mereka untuk membeli petasan dan kembang api maka aksi bakar petasan dan kembang api tersebut tentu akan terus ada.
Dengan begitu, bila kita ingin anak-anak tersebut tidak membakar petasan dan kembang api di tengah-tengah kekhusyukan orang-orang yang menjalankan puasa maka mata rantai peredaran petasan dan kembang api itu mesti diputus.
Selanjutnya, siapa pun yang melanggar, seyogyanya dikenakan sanksi yang berat, sehingga memberi efek jera. Semoga, Ramadhan tahun ini terbebas dari ledakan petasan dan desingan kembang api.
Mahmud Yunus
Lingkungan Parunglesang, Kota Banjar, Jawa Barat