Akankah nilai tukar rupiah terus melemah hingga akhirnya mencapai batas Rp 12.500 per dolar AS? Pertanyaan ini cukup strategis kita ajukan sekarang. Di samping pertanyaan selanjutnya, yaitu mengapa tren nilai tukar rupiah justru cenderung melemah? Padahal, konteks saat ini publik dan pasar Indonesia semestinya bersikap optimistis.
Mengapa optimistis? Pertama, kita akan menyambut Ramadhan. Tren masyarakat Indonesia sepanjang Ramadhan adalah meningkatkan konsumsi. Sehingga, transaksi bisnis terutama yang terkait dengan barang konsumer akan meningkat. Kedua, pada 9 Juli rakyat Indonesia akan memilih pemimpin baru. Angin positif mestinya berembus menjelang pemilihan ini.
Namun, yang terjadi pada kinerja mata uang rupiah justru sebaliknya. Jejak pelemahan rupiah terlihat nyata sejak awal tahun. Sepanjang Januari-Februari posisi rupiah melemah pada kisaran Rp 12 ribu per dolar AS. Bank Indonesia dengan aktif masuk ke pasar untuk "menstabilkan" kondisi.
Intervensi ini berlanjut sampai Maret-April. Pada 1 April, rupiah mencapai titik terkuatnya, yaitu kurs jual mencapai Rp 11.327 dan kurs beli sebesar Rp 11.215 per dolar AS. Namun, ini hanya berlangsung singkat. Pada pekan ketiga Mei, rupiah tersungkur. Titik kritisnya ada pada periode 22 Mei dan 23 Mei. Pada 22 Mei, kurs jual BI mencapai Rp 11.573 dan kurs beli Rp 11.457. Pada 23 Mei, kurs jual BI sudah merosot di Rp 11.618 dan kurs beli di Rp 11.502. Dari posisi itu kemudian rupiah terus anjlok.
Puncaknya pada 18 Juni ketika rupiah diperjualbelikan seharga Rp 12.038 (kurs jual) dan Rp 11.918 (kurs beli). Kita bisa perhatikan pada 22 dan 23 Mei. Sepanjang dua hari itu tidak ada hal istimewa yang terjadi di dunia politik maupun bisnis.
Pada 22 Mei, misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melawat ke Filipina, pemeriksaan kesehatan capres/cawapres, dan penetapan tersangka dugaan korupsi haji mantan menteri agama, Suryadharma Ali. Sementara, peristiwa bisnis pada 22 Mei adalah indeks harga saham gabungan (IHSG) melesat 59 poin ke 4.961,73 poin akibat aksi asing memborong saham.
Pada 23 Mei, terjadi rencana pemotongan Rp 100 triliun APBN 2014 terkait penghematan subsidi BBM. Kemudian, ada peringatan dari Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo soal utang dolar AS korporasi yang makin membengkak. Sementara, peristiwa nasionalnya masih seputar status tersangka mantan menteri agama dan kampanye negatif yang menerpa pasangan Jokowi-JK.
Kita bisa melihat data data Badan Pusat Statistik pada Mei. Saat itu, BPS merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih sebesar 5,21 persen. Kinerja ekspor naik 3,95 persen dan impor yang juga naik 5,42 persen. Serta, angka deflasi yang terjadi selama April sebesar 0,02 persen.
Kita sepakat harusnya nilai tukar rupiah bulan-bulan ini bisa lebih perkasa. Apalagi, pemerintah, BI, dan DPR sudah mematok nilai tukar rupiah di APBN-Perubahan sebesar Rp 11.600. Prospek ekonomi Indonesia masih cerah dengan sejumlah tantangan infrastruktur dan iklim usaha.
Indonesia sedang bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia. Rupiah adalah salah satu garda terdepan untuk menarik investasi asing. Kinerja penguatannya harus didukung oleh semua pihak, seperti pemerintah, pengusaha, dan bank sentral. Kekompakan menjaga rupiah dengan demikian menjadi hal krusial.