Pesta demokrasi di Indonesia mulai memasuki babak awal dalam pemilihan presiden 9 Juli yang sangat menentukan terhadap masa depan kesejahteraan masyarakat secara luas. Hal itu dimulai dengan strategi kampanye yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses untuk mewujudkan ambisi dalam meraih kekuasaan tertinggi. Berbagai trik dan strategi dipersiapkan dalam setiap kampanye demi memuluskan langkah menjadi pejabat tinggi dan mencapai kemenangan yang didambakan.
Kendati demikian, dalam setiap kampanye yang digelar oleh masing-masing tim sukses, ternyata masih dihadapkan pada persoalan krusial terkait dengan pelanggaran kampanye. Strategi kampanye memang menjadi senjata ampuh bagi pasangan capres dan cawapres untuk menarik simpati massa dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Akan tetapi, kalau strategi kampanye itu melanggar aturan pilpres, maka hal itu menunjukkan adanya sikap tidak dewasa dari masing-masing tim sukses.
Beberapa hari ini kita memang disuguhkan oleh berita yang kurang menyenangkan terkait pelanggaran kampanye oleh tim sukses pasangan capres dan cawapres, semisal keterlibatan kepala daerah yang secara intens melakukan kampanye di luar ketentuan. Padahal, bila kita mengacu pada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, dijelaskan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan selama masa kampanye.
Pelanggaran kampanye
Sungguh sangat disayangkan apabila pesta demokrasi dinodai oleh pelangggaran yang tidak sehat dan memunculkan conflict of interest di tengah-tengah masyarakat. Semisal adanya bentrokan antarpendukung pasangan capres dan cawapres yang saling ejek dan membuat keonaran di jalan raya sehingga mengganggu ketertiban umum. Tindakan semacam ini bisa mencoreng iklim demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah.
Munculnya bentrokan fisik antarpendukung pasangan capres dan cawapres tentu saja akan semakin memperkeruh gejolak politik yang tinggi di antara pasangan calon. Jika pelaksanaan kampanye dilakukan secara brutal, maka hal itu bisa mengganggu jalannya demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kepatutan, dan penghormatan terhadap kandidat pasangan lain.
Itulah sebabnya, Bawaslu perlu memberikan peringatan keras kepada tim kampanye masing-masing calon yang melanggar tata cara kampanye sesuai dengan undang-undang. Bila perlu, Bawaslu memberikan surat teguran resmi agar tindakan pelanggaran tidak kembali dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim demokrasi yang sesuai dengan harapan rakyat dan memberikan angin segar bagi terbangunnya kepemimpinan ideal di masa depan.
Berbagai bentuk pelanggaran kampanye tersebut setidaknya harus ditindaklanjuti secara serius oleh pihak yang berwewenang guna memberikan pengawasan ketat terhadap pasangan calon yang melakukan tindakan indisipliner. Jika tidak, iklim demokrasi dalam pilpres akan tercoreng oleh tindakan semena-mena tim sukses yang sering kali mengabaikan cara berkampanye yang santun dan elegen.
Politik Machiavellis
Berkampanye sebenarnya bukan sekadar bertujuan untuk menarik simpati massa agar memperoleh kemenangan dalam pesta demokrasi, melainkan juga menjadi momentum untuk menyosialisasikan pendidikan politik bagi warga masyarakat yang belum mengerti tentang dinamika politik nasional, terutama ketika pemilihan umum berlangsung. Untuk itu, cara-cara licik dan keinginan untuk menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan harus dihindari sebisa mungkin.
Bila kita amati lebih mendalam, dinamika politik di negeri ini sudah terjebak pada platform "politik untuk kekuasaan". Artinya, politisi kita sering kali memanfaatkan kendaraan politik hanya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan semata, sementara nilai-nilai demokrasi yang seharusnya didengungkan malah diabaikan begitu saja. Tidak heran bila filsafat Machiavelli patut menjadi refleksi kita tentang sang penguasa yang menghalalkan segala cara untuk mengintimidasi publik agar bertekuk lutut pada keinginan kekuasaan yang dikendalikan oleh penguasa tamak, licik, rakus, dan banal.
Kita tidak bisa membayangkan betapa menonjolnya penguasa dan politisi negeri ini yang mengamalkan gagasan-gagasan Machiavelli. Pertama, dalam rangka meraih kekuasaan, Machiavelli mengajarkan bahwa seseorang yang ingin meraih kekuasaan (tujuan), cara apa pun bisa digunakan (the ends justify the means). Kedua, dalam rangka mempertahankan kekuasaan, Machiavelli mengajarkan bahwa seorang politisi harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia --tulus, penyayang, baik, pemurah-- tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tidak terpuji, jahat, kikir, licik, bengis, dan kejam. (Machiavelli, The Art of War, 2002).
Berangkat dari analisis inilah, politik Machiavelli ternyata masih sangat kuat dianut oleh sebagian politisi dan pejabat pemerintahan yang menduduki posisi strategis. Kita bisa mengambil contoh dalam pemilukada yang kerap kali diwarnai oleh tindakan intimidatif dan maraknya politik uang (money politics) yang bisa menghancurkan tatanan demokrasi kita.
Cara-cara intimidatif untuk menekan pemilih agar memilih pasangan capres dan cawapres tertentu sungguh sangat disayangkan, apalagi bila muncul kekhawatiran merebaknya politik uang yang bakal mewarnai pesta demokrasi kita. Saya berharap tidak ada gejolak politik yang memanaskan suasa pilpres sehingga tidak menimbulkan ketegangan dan gejolak politik yang menyulut api dendam antarpendukung pasangan capres dan cawapres. Semuanya harus bersikap bijaksana dalam memberikan contoh dan keteladanan bagi masyarakat secara umum. Semoga!
Mohammad Takdir Ilahi
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Jogjakarta