Penetapan tarif nikah bagi para penghulu belum juga menemukan titik terang. Sampai saat ini pemerintah belum juga mengesahkan aturan yang pasti soal tarif nikah bagi penghulu. Kondisi tersebut menjadi titik rawan bagi terjadinya pungutan liar yang dilakukan oleh oknum penghulu.
Kerawanan ini bisa terjadi dari dua sudut pandang. Pertama, karena tidak ada kepastian, masyarakat menganggap bahwa tarif nikah sebenarnya tidak ada. Akibatnya, saat ada penghulu yang menerima biaya transpor kemudian dianggap menerima suap. Yang kedua, inisiatif pungutan datang dari sang penghulu karena akad nikah dijalankan di luar kantor dan di luar jam kerja. Kemudian, ini disebut sebagai pungutan liar.
Faktor yang melahirkan adanya uang-uang tersebut tidak sepenuhnya dari pihak penghulu atau Kantor Urusan Agama (KUA). Bisa jadi juga faktornya dari masyarakat. KUA atau penghulu semestinya tidak punya alasan untuk mengambil biaya berlebihan kalau akad nikah dijalankan di kantor KUA. Masalahnya, saat ini masyarakat lebih senang untuk menjalankan akad nikah di luar kantor KUA dan umumnya di luar jam kerja (yakni di hari libur).
Di sisi lain, biaya operasional penghulu masih sangat terbatas. Mereka belum tentu punya cukup biaya untuk menjangkau lokasi pernikahan yang berjauhan dengan tempat tinggalnya. Jangankan di daerah terpencil, di kota-kota besar saja belum tentu semua penghulu punya kemampuan dana yang memadai untuk mendatangi warga yang melangsungkan pernikahan dan memerlukan jasanya. Walaupun bisa juga terjadi penghulu yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memungut biaya semaunya kepada masyarakat.
Saat ini, rancangan peraturan pemerintah (RPP) soal biaya nikah sudah disusun dan sudah diserahkan kepada Presiden. Rancangan tersebut merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2004 tentang Jenis Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Kementerian Agama. Salah satu revisi aturan tersebut memberikan batasan yang jelas soal biaya nikah yakni senilai Rp 600 ribu untuk pernikahan di luar kantor KUA dan di luar jam kerja.
Revisi ini masih menunggu ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kita berharap, penetapan revisi ini tidak berlarut-larut sehingga bisa segera ada kepastian soal tarif nikah di masyarakat. Kepastian ini akan menjadi patokan penting bagi masyarakat. Mereka bisa segera menggolongkan pungutan liar atau gratifikasi begitu ada permintaan yang melebihi ketentuan. Kepastian ini juga akan memberi ketenangan bagi para penghulu.
Masyarakat yang kurang mampu untuk memenuhi biaya tersebut juga bisa merencanakan proses akad nikah di kantor KUA dan pada jam kerja. Sehingga, mereka bisa terbebas dari biaya Rp 600 ribu. Para penegak hukum juga lebih punya patokan untuk segera mengambil tindakan begitu ditemukan bukti-bukti gratifikasi maupun pungutan liar dalam proses akad nikah.
Kepastian soal tarif nikah ini sangat penting untuk segera ditetapkan. Urusan pernikahan adalah urusan yang menyangkut masyarakat luas. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum, masyarakat luas dan para penghulu sangat memerlukan aturan yang pasti.