Peringatan gambar pada rokok serta pembatasan iklan dan penjualan produk tembakau sudah merupakan keharusan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi generasi muda Indonesia dari bahaya merokok. Akan tetapi, satu hal yang masih luput atau sengaja diluputkan adalah melakukan hal yang sama bagi satu zat adiktif lain, yakni alkohol.
Selama ini pemerintah belum konsisten dalam menerapkan aturan peredaran dan konsumsi minuman beralkohol. Jika para penjual minuman beralkohol masih dapat ditemukan di berbagai tempat, maka pemerintah akan semakin sulit mengendalikan tingkat pembelian dari para konsumen.
Seperti diketahui, Kemendag memang telah melakukan pengetatan terhadap peredaran minuman beralkohol di dalam negeri yang termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengawasan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Tak hanya menindak para pembeli, pemerintah seharusnya dapat menciptakan regulasi yang lebih mengikat.
Sekarang pemerintah masih lebih berat pada aspek hilir saja (konsumen). Artinya, percuma membatasi konsumen, kalau penjualan miras masih dilakukan di berbagai tempat. Zat perusak moral bangsa ini harus dibatasi dari aspek hulu dan hilirnya.
Bukan hal yang baru bahwa banyak sekali kasus kriminalitas maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi. Semua itu bermula dari konsumsi minuman keras. Ini adalah permasalahan yang sudah pada tataran sangat mengkhawatirkan, sehingga jika tidak dilakukan penertiban, maka angka kriminalitas akan terus meningkat.
Seharusnya kita dapat berkaca pada Amerika Serikat. Negara adidaya tersebut yang sangat terkenal sebagai negara sekuler kelas 'kakap' pun pernah memiliki undang-undang pengendalian peredaran minuman beralkohol. Undang-undang yang diberlakukan pada 16 Januari 1920 itu memang bukan didasari teks agama, namun lebih pada kesadaran sosial akan mudharat mengonsumsi alkohol.
Dilatarbelakangi oleh banyaknya tindakan kriminal dan masalah sosial lainnya yang muncul akibat minuman alkohol maka lahir zaman yang lebih dikenal dengan sebutan prohibition yang melahirkan tokoh kriminal seperti Al Capone.
Banyak yang tidak mengetahui bahwa faktanya, setelah undang-undang tersebut diberlakukan, tingkat kriminalitas dan masalah sosial di AS pun cenderung mengalami penurunan. Akan tetapi, karena peraturan tersebut tidak lahir dari semangat teks agama dan kenyataan bahwa masyarakat AS juga seolah tak rela 'dipisahkan' dengan kebiasaannya mengonsumsi alkohol, maka sistem demokrasi yang dianut AS pun memaksa pemerintah untuk mencabut kembali undang-undang tersebut. Tetapi, ini tidak menutup fakta bahwa pembatasan dan pelarangan alkohol tersebut memiliki efek positif yang nyata.
Adanya undang-undang otonomi daerah di Indonesia memberi keleluasaan kepada pemerintah di daerah untuk menerbitkan berbagai peraturan daerah (perda) yang melarang dan/atau mengawasi peredaran minuman beralkohol di daerahnya. Perda-perda Miras ini bukan lahir dari semangat keagamaan semata, melainkan juga dari pantauan kondisi sosial pada masing-masing daerah. Dan beberapa daerah yang memberlakukan Perda Miras itu mengaku cukup berhasil meminimalisasi kerawanan sosial pada wilayahnya yang kerap disinyalir timbul akibat minuman beralkohol.
Keberhasilan beberapa pemerintah daerah dalam menekan angka kriminalitas melalui Perda Miras di wilayah mereka seharusnya mendapat apresiasi dari pemerintah pusat, sebab secara tak langsung hal tersebut berarti meringankan kerja pemerintah dalam hal menyediakan keamanan bagi warganya. Tapi, alih-alih memberikan apresiasi, pemerintah pusat melalui menteri dalam negeri malah mempertanyakan legal standing Perda Miras di daerah. Menurut Mendagri, perda yang mengatur peredaran miras itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hal ini Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang juga berbicara tentang peredaran definisi miras.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, Keppres No 3 Tahun 1997 mengatur tiga golongan kadar miras yang boleh beredar di masyarakat luas. Sementara itu, beberapa Perda Miras justru cenderung mengatur peredaran miras dengan mengabaikan golongannya.
Apa pun bentuknya, miras, baik itu bir, wine, wiskey, tuak, harus dibatasi dengan ketat, baik konsumsi maupun peredarannya. Pemerintah tidak bisa lagi berlindung di balik alasan gangguan pariwisata atau pendapatan cukai/pajak dari peredaran minuman beralkohol atau perlindungan petani. Sudah sewajarnya dan sepantasnya alhokol diperlakukan minimal sama atau bahkan lebih dari tembakau/rokok.
Fahira Idris
Pengusaha muda dan pendiri Gerakan Anti Miras (GENAM).