Jumat 18 Jul 2014 12:00 WIB

Optimalisasi Dana Mudik

Red:

Prosesi mudik menjadi ritual tahunan berskala masif yang hanya berlangsung di Indonesia. Diestimasi pada 2014, ada 27 juta jiwa  pemudik atau naik 7 persen dari 2013, yang hilir mudik dari kota ke desa (daerah) (Kemenhub, Juli 2014). Bank Indonesia (2014) menduga, sedikitnya ada Rp 60 triliun dana yang mengalir ke daerah-daerah lewat aktivitas mudik warga dan proses transfer menjelang Lebaran. Dana tersebut belum mampu menggerakkan ekonomi daerah. Pemudik cenderung memanfaatkan uang mereka untuk keperluan konsumtif. Ini karena minimnya sektor usaha yang bisa dikembangkan di desa.

Lantas, bagaimana mengoptimalkan puluhan triliun rupiah itu untuk menggerakkan ekonomi daerah, terutama di perdesaan dalam jangka singkat? Setidaknya, ada tiga asumsi yang perlu dibangun, pertama, mudik harus tetap dipandang menjadi bagian dari ritual keagamaan untuk mengeratkan rongga-rongga silaturahim yang kerap mulai retak. Dengan mudik, kesetiakawanan sosial akan terejawantah dalam bentuk saling tegur sapa dan gotong-royong.

Kedua, dengan mudik, diperlukan format kelembagaan yang mampu mengaransemen sumber daya (dana dan manusia), agar bisa optimal. Di sini diperlukan kreativitas lokal dari aparat desa, tokoh-tokoh kharismatik, dan kaum muda desa. Ketiga, studi empiris mampu menunjukkan peran kaum perempuan desa lebih mampu dan telaten menggerakkan sumber daya, dengan tentu dukungan kaum lelaki. Artinya, besaran dana mudik yang berserakan itu harus dilembagakan dengan optimalisasi peran perempuan dalam pengelolaan.

Optimalisasi dana mudik, tentu akan berhadapan dengan karakteristik desa yang variatif, sekaligus berhadapan tingkat kesadaran para pemudik yang belum tentu rela, agar sebagian dananya dikelola untuk kepentingan penguatan ekonomi desa. Dalam pelbagai literatur, desa sejatinya suatu entitas komunal, yang memiliki pola kelembagaan dan kearifan lokal. Di dalamnya terjadi interaksi horizontal dan vertikal dalam konteks kebersamaan (gotong-royong).

Hanya, pada zaman Orde Baru (Orba), kebersamaan itu sengaja dilumpuhkan. Negara yang memiliki otoritas, lebih memihak pada kelompok menengah-atas perdesaan yang terdiri dari tuan tanah dan pegawai di tingkat desa (Winarno, 2008).

Bukan itu saja, sejak rezim kolonial, posisi pemerintahan adat yang sultanistik-despotik sengaja dirawat dan dijadikan akses instrumentasi politik dan ekonomi guna menguasai entitas desa. Model itu terus bergulir hingga saat ini, dan rezim pemerintahan pun silih berganti tidak pernah lelah mendesain dan melaksanakan program berpola sentralistik. Hingga pada akhirnya banyak program penggelontoran dana pemerintah yang bersifat top-down dan charity. Ini pula yang sedikit-banyak tecermin dalam UU No 6/20014 tentang Desa.

Dengan perkembangan itu, desa tidaklah sesederhana seperti umum yang kita kenal. Namun, realitas persoalan yang ada di tingkat desa, terutama dalam konteks interaksi horizontal dan vertikal akan bisa diselesaikan jika keguyuban desa dikembalikan. Besaran dana mudik yang bergulir ke desa bisa menjadi entry point menggerakkan kembali dana partisipatif yang bottom-up.

Peran perempuan

Satu entitas masyarakat, yang secara psikologis mampu melecutkan penguatan ekonomi desa, adalah kaum perempuan. Perempuan merupakan basis ketahanan inti dari rumah tangga dan keluarga di desa. Jika kaum perempuan lemah maka lemah pula ketahanan desa itu. Mengapa perempuan?

Menurut pemenang hadiah Nobel, Muhammad Yunus (2009), kelaparan dan kemiskinan lebih merupakan masalah perempuan ketimbang laki-laki. Perempuan mengalami kelaparan dan kemiskinan lebih hebat dari laki-laki. Jika ada anggota kerluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tidak tertulis mengatakan, ibulah yang pertama-tama akan mengalaminya. Ibu rumah tangga juga akan menderita pengalaman traumatis karena tidak mampu menyusui bayinya selama masa kelaparan dan paceklik.

Bahkan, kemiskinan kerap identik dengan kehidupan perempuan. Meruyaknya kasus kekerasan seksual, prostitusi, buruh migran, human trafficking, dan kekerasan lainnya, secara tidak langsung diatributkan pada kemiskinan perempuan. Ironisnya, di bidang ekonomi, kaum perempuan yang jumlahnya 52,7 persen dari total populasi penduduk dunia, ternyata hanya memiliki seperseribu dari jumlah kekayaan dunia, dan hanya menerima 10 persen dari total gaji (MDG's, 2012).

Maka, untuk menggerakkan ekonomi desa, model pelembagaan dana-dana desa yang berasal dari dana partisipatif, termasuk dana pemudik yang puluhan triliun jumlahnya, harus segera diaransemen. Model yang lebih sederhana, bagaimana dana-dana itu dilembagakan dalam bentuk lembaga keuangan mikro (LKM), seperti koperasi perempuan di perdesaan.

Studi Mayoux (2009) mengelaborasi peranan LKM dan penguatan perempuan di beberapa wilayah Afrika (Kamerun, Zimbabwe, Afrika Selatan, Kenya, dan Uganda), dengan Sudan sebagai benchmarking penguatan perempuan penerima kredit mikro. Mayoux mengemukakan, perempuan merupakan inti dari keluarga. Penurunan jumlah kemiskinan perempuan, secara otomatis menurunkan jumlah kemiskinan.

Dengan demikian, perlunya kesadaran bahwa menggerakkan ekonomi desa, partisipasi kaum perempuan menjadi prioritas. Melalui sistem pembagian saham dan iuran, setiap pemudik bisa menyetorkan saham untuk kepentingan usaha LKM. Dana yang terkumpul inilah yang sejatinya bisa menstimulasi dan memobilisasi dana untuk berbagai kebutuhan produktif masyarakat desa. Peran aparat desa dan tokoh-tokoh kharismatik diperlukan untuk menjadi pelopor mengoordinasi pemanfaatan maksimal dana-dana mudik itu dengan aransemen kelembagaan ekonomi desa yang produktif.

Cuma, masyarakat perdesaan yang dikuasai model sultanisik-despotik yang kerap bersandar pada masyarakat adat, kurang memberi akses kepada kaum perempuan. Perlu dilakukan to give power or authority to, dan to give ability to or enable kepada kaum perempuan. 

Mukhaer Pakkanna

Peneliti Cides,  Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement