Keberhasilan gerakan Negara Islam Suriah dan Levant (ISIL) atau belakangan lebih dikenal dengan ISIS mengambil alih sejumlah kota penting di Irak dan Suriah men jadi peringatan serius bagi para pemimpin negara di dunia. Manuver mereka mengambil alih Kota Mosul pertengahan Juni silam misalnya memperlihatkan bagaimana pola gerakan ISIS bekerja. Mereka mengambil alih kota, menguasai kantor pemerintahan, menguasai pangkalan militer, merampok bank sentral, dan menyebarkan paham dengan paksaan ke wilayah yang dikuasai.
Sejauh ini mereka setidaknya berhasil menguasai Kota Mosul yaitu kota kedua terbesar di Irak setelah berhasil memukul mundur tentara resmi Irak pada 10 Juni 2014. Setelah menguasai Mosul pimpinan mereka lantas mengumandangkan pidato jihad di Masjid Besar Mosul (New York Times, 5/7).
Sangat terlihat mereka tidak seperti Alqaidah yang melancarkan serangan terhadap fasilitas umum disertai propaganda teror agar tercipta ketakutan sehingga mampu memberikan tekanan pada pihak yang mereka anggap lawan.
Abu Bakral-Baghdadi yang belakangan mengaku dirinya khalifah bagi komunitas Islam dunia lewat pesan video yang disebar melalui internet menggu nakan propaganda un tuk meraih simpati dengan mengangkat isu sektarian agar gelombang dukungan terhadapnya mengalir deras. Al-Bagh dadi, misalnya, menuduh rezim berkuasa di Irak di bawah Nuri al-Maliki adalah kaki tangan rezim Syiah yang akan terus menekan kelompok Suni sehingga ketika Nuri alMaliki mela ku kan serangan balasan terhadap ISIS maka menjadi legitimasi bagi kelompok ISIS untuk menuduh Nuri al-Maliki memang anti Suni.
Ekspansi Irak-Suriah Jatuhnya Mosul bagi kelompok ISIS menjadi keuntungan tersendiri mengingat dengan penguasaan terhadap kota terbesar kedua setelah Baghdad ini maka dengan sendirinya akan memudahkan mereka melakukan koordinasi dengan jaringan mereka di Suriah yang me mang menjadi target utama mereka di tengah krisis yang belum usai di sana.
Kota-kota yang belum bisa diambil alih oleh pemerintah Suriah diharapkan mampu menjadi markas sekaligus tempat meraih sumber finansial karena adanya potensi minyak dan gas di kawasan tersebut (Carnegieendowment, 12/6).
ISIS memanfaatkan betul situasi psikologis di Timur Tengah yang tengah mengalami turbulensi akibat krisis keamanan yang terus terjadi di Suriah, Irak, Lebanon, dan sebagian besar negara Timur Tengah. Mereka memanfaatkan situa si turbulensi untuk mendapat dukungan finansial dari para donatur yang memiliki rivalitas di kawasan ini dengan cara memojokkan figur Syiah untuk meraih dukungan finansial dari kelompok Suni, membunuh karakter presiden Irak untuk meraih dukungan rezim Arab Saudi, Qatar, dan seterusnya. Sementara untuk dukungan lebih luas mereka mengampanyekan jihad sebagai alat perjuangan membebaskan kelompok Islam yang tertindas di Suriah, Irak, Lebanon, dan sebagian besar kawasan Levant.Fak tanya dengan cara ini mereka berhasil merekrut para jihadis non-Arab yang datang dari Eropa dan Asia.
Logika Snowden Jika laporan yang dirilis oleh Snowden, sang mantan pegawai intelijen Ame rika, yang menyebut bahwa ISIS sebagai gerakan yang sengaja diciptakan oleh lembaga intelijen Amerika, Inggris, dan Israel dengan misi untuk melindungi Israel dari ancaman dan kepungan dengan cara menciptakan gangguan di wilayah negara tetangga yang berdekatan dengan Israel mengandung kebenaran, maka tentu saja para pemimpin negara perlu meminta penjelasan dan mengakhiri operasi ini karena bisa membahayakan negara dan mengganggu stabilitas global (Globalresearch, 16/7).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Israel memang merasa tidak aman dengan transisi yang berlangsung di Timur Tengah mengingat rezim-rezim yang tadinya dianggap lebih bisa diajak bekerja sama karena memiliki kepastian sukses ke pemimpinan lantaran berlatar belakang militer atau dinasti keluarga, namun seketika tumbang oleh kekuatan rakyat menjadi pertimbangan tersendiri bagi Israel dengan meminta bantuan sekutu terdekat yakni Amerika dan Inggris untuk menciptakan rasa aman bagi Israel di kawasan. Kehadiran rezim yang keras terhadap Israel di kawasan Timur Tengah adalah alasan paling kuat Israel untuk melakukan operasi intelijen menciptakan kenyaman di atas prahara negara tetangga. Tentu saja kesimpulan seperti ini timbul ketika menggunakan informasi yang disuplai Snowden.
Membendung ISIS Gerakan ISIS sangat berbahaya jika diberi ruang untuk berkembang. Di samping karena gerakan mereka yang sudah pasti akan mencenderai kedaulatan negara, tetapi juga akan menjadi ancaman serius bagi negara berdaulat karena serangan mereka bersifat sporadis dengan persenjataan lengkap. Sehingga, jika sebuah negara gagal membendung serangan maka bisa dipastikan akan menja dikan negara yang diserang mengalami des tabilisasi dan pasti akan mengganggu stabilitas kawasan Timur Tengah khususnya dan dunia dalam skala luas karena aksi rekrutmen anggota dari berbagai kewarganegaraan.
Lebih dari itu gerakan ISIS melebihi aksi teror yang dilakukan oleh kelompok Alqaidah. Artikel yang ditulis Lina Khatib dalam laporan Carnegieen dowment misalnya menyebutkan Abu Bakr alBaghdadi menyebut diri lebih ber kuasa ketimbang Alqaidah ketika ia menolak permintaan pimpinan Al qaidah Ayman al-Zawahiri untuk meninggalkan Suriah. ISIS berani pe rang terbuka dengan pihak negara di saat Alqaidah bergerak secara sembunyi.
Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia punya tanggung jawab global un tuk memastikan bahwa negara ini siap membendung pengaruh ekstrem kelompok ISIS yang telah menyalahgunakan konsepsi agama untuk melegitimasi kegiatan teror mereka di tengah upaya negara-negara untuk menopang stabilitas dunia. Langkah Pemerintah Indonesia sejauh ini untuk mengontrol persebaran gerakan ISIS dengan dukungan dari ormas keagamaan sangat perlu diapresiasi dengan harapan akan mampu memastikan Indonesia tetap aman dan menjadi panutan bagi komunitas Muslim dunia yang sedang mendapat ancaman serupa gerak bebas ISIS.
M SYA\'RONI ROFII
Mahasiswa S3 Ilmu Politik dan Hubungan Internasional, Marmara University, Istanbul, Turki