REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
Email: [email protected]
Dalam acara jumpa pers terakhir sebagai presiden Japan Airlines (JAL), Haruka Nishimatsu dan stafnya membungkuk di hadapan para wartawan, fotografer, dan kamerawan televisi sebagai pertanda maaf karena gagal menyelamatkan perusahaan tersebut.
Dia mengundurkan diri sehari setelah JAL dinyatakan pailit atas keputusan Pengadilan Distrik Tokyo, Selasa, 19 Januari 2010. "Ini merupakan peluang kita yang terakhir," kata Nishimatsu. Selang beberapa menit, Nishimatsu melanjutkan, "Saya yakin bahwa kita bisa lahir kembali sebagai sebuah maskapai yang bisa kembali mewakili Jepang."
Kursi kosongnya digantikan oleh Kazuo Inamori, sosok yang mendirikan Kyocera Corp dan perusahaan telepon seluler terbesar kedua di Jepang, KDDI corp. Di bawah “pilot” baru, JAL langsung melakukan restrukturisasi. Dalam proses restukturisasi, JAL terpaksa memberhentikan 15.661 pekerja dalam kurun waktu awal Januari 2010 hingga Maret 2013. Jumlah itu setara sepertiga dari total karyawan tetap JAL.
Maskapai kebanggan warga Jepang itu juga terpaksa memensiunkan dini semua armada pesawat Boeing 747 Jumbo yang berjumlah 37 unit dan 16 unit pesawat MD-90s. Maskapai menggunakan pesawat berkapasitas lebih kecil.
Proyek “besar” penyelamatan tersebut membutuhkan dana 300 miliar yen (setara 3,2 miliar dolar AS). Dana investasi itu untuk menampung bangkrutnya JAL dengan menanyakan kepada kreditur untuk mencari pinjaman sebesar 300 miliar yen. Untuk membiayai utang-utang perusahaan yang bejibun, JAL mencari pinjaman dana dari pemerintah sejak 2001.
Selain Nishimatsu, pejabat pemerintah juga memiliki optimisme sama bila JAL saat itu masih bisa diselamatkan. Menteri Perhubungan Jepang Seiji Maehara bahkan berucap, "Ini bukanlah akhir bagi JAL. Justru ini adalah awal dari proses untuk membuat JAL tetap hidup."
Dua tahun kemudian, keyakinan Haruka Nishimatsu, Kazuo Inamori, Seiji Maehara, serta mereka yang meyakini kebangkitan JAL akhirnya menjadi kenyataan. Pada September 2012 lalu, saham JAL kembali diperdagangkan (relisting) di bursa Tokyo.
Momentum ini ditandai dengan saham JAL yang melonjak 3,03 persen menjadi 3,905 yen per lembar saham dari harga penawaran. Hal itu membangkitkan kepercayaan para investor untuk berinvestasi.
Nasib agak serupa dialami maskapai penerbangan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) (Persero) yang menghentikan operasinya per 1 Februari 2014. Padahal, maskapai kebanggaan bangsa ini pernah mengalami masa kejayaan periode 1989 hingga 1992. Saat itu, Merpati memiliki sekitar 100 armada. Kala itu, Merpati memiliki berbagai tipe pesawat, mulai jet hingga pesawat baling-baling berukuran kecil.
Di masa keemasan itu, Merpati dipimpin Direktur Utama Capt FH Sumolang. Di bawah kepemimpinan Sumolang, Merpati mulai masuk ke era pesawat jet seperti Fokker-28, Fokker-28, dan DC-9.
Kinerja Merpati semakin moncer saat bersinergi dengan PT Garuda Indonesia (Persero). Tugas Merpati adalah feeder Garuda Indonesia untuk melayani penerbangan hingga pelosok negeri. Beberapa tahun terakhir, Merpati berjibaku memperbaiki kinerja karena sejumlah masalah, terutama mengalami kesulitan keuangan (utang) serta menjalani program restrukturisasi.
Sejumlah direksi silih berganti mengisi kursi “panas” Dirut Merpati selama 10 tahun terakhir, namun maskapai ini tidak kunjung membaik. Hingga akhirnya kolaps per 1 Februari 2014.
Direksi MNA bukan tak bekerja. Direktur Utama Merpati Capt Asep Ekanugraha mengatakan, manajemen maskapai terus mengupayakan agar perusahaan itu dapat mengudara kembali. Selain menyelesaikan rencana bisnis, melobi menteri BUMN, investor, mitra bisnis, dan cara lain, menurutnya ada satu strategi quick-win. Yakni dukungan penuh dari pemerintah dalam mengucurkan dana talangan atas penjualan sebagian saham Merpati Maintenance Facility dan Merpati Training Center.
Merujuk kasus penyelamatan JAL yang bisa hidup kembali hanya dalam dua tahun, seharusnya Direktur Utama Merpati Capt Asep Ekanugraha, Menteri BUMN Dahlan Iskan, serta pemangku kebijakan memiliki optimisme kuat bila perusahaan yang beroperasi sejak 6 September 1962 ini segera terbang kembali.
Bila perlu, semua pemangku kebijakan “mencontek” keberhasilan JAL bangkit dari keterpurukan empat tahun silam. Saya meyakini, selain Capt Asep Ekanugraha dan Dahlan Iskan, negeri ini memiliki segudang orang hebat yang bisa menyelamatkan aset bangsa. Dengan beragam strategi dan pendekatan.
Bila memungkinkan, anggota Tim Restrukturisasi MNA mengundang sosok-sosok di balik keberhasilan restrukturisasi JAL, Lehman Brothers Holdings, Apple Inc, General Motors, maupun PT Dirgantara Indonesia (Persero). Oh, ya, gali pemikiran Susi Pudjiastuti (pemilik Susi Air) dan Emirsyah Satar (Dirut PT Garuda Indonesia Tbk) tentang bagaimana melejitkan perusahaannya masing-masing.
Pendek kata, belum terlambat menyelamatkan Merpati Airlines. Asal ada kemauan, solusi pasti terbuka. Justru berilah “kado terbaik” bagi maskapai ini yang akan berusia 52 tahun pada 6 September 2014 nanti. n