Tanpa terasa kita akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-69 Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hari ulang tahun NKRI itu jatuh di bulan Syawal 1435 H yang beberapa minggu lalu umat Islam merayakan hari kemenangan setelah satu bulan menjalankan ibadah puasa. Jadi, momentum hari kemenangan yakni kemerdekaan NKRI, juga masih bercampur dengan hari kemenangan hari raya Idul Fitri. Tentu dua simbol kemenangan ini akan penting pada saat ini.
Di tengah semarak euforia kemenangan, bangsa Indonesia sadar atau tidak masih dihadapkan ancaman krisis pangan.
Dengan terus meningkatnya jumlah penduduk yang pada tahun 2013 mencapai 248,8 juta tentu berdampak pada meningkatnya permintaan bahan pangan, baik jumlah, mutu, maupun keragaman. Pangan merupakan kebutuhan pokok hidup ma syarakat. Hampir setiap rumah tangga membelanjakan minimal setengah dari pengeluarannya untuk membeli kebutuhan pangan. Kekhawatiran pada ancaman krisis pangan ini tentu beralasan ketika kita melihat semakin meningkatnya fenomena ketergantungan pada pangan impor.
Besarnya nilai impor barang konsumsi pada April 2014 secara keseluruhan mencapai 1,13 miliar dolar AS.Hal ini meningkat dari bulan Februari dan Maret yang hanya 898,6 miliar dolar AS dan 1,08 miliar do lar AS (BPS, Juni 2014). Dengan masih tingginya nilai impor barang konsumsi terutama bahan pangan ini merupakan salah satu indikator adanya potensi kerawanan pangan.
Impor bahan pangan bagi Indonesia yang berpenduduk besar dengan laju pertumbuhan penduduk 2010-2013 sebesar 1,42 persen per tahun merupakan potret buruk ke tergantungan pada pihak asing. Tentu jika terus dibiarkan akan berbahaya bagi kedaulatan negara.
Potensi kerawanan pangan ini erat kaitannya dengan kemiskinan. Hingga Sep tem ber 2013 penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta. Sebanyak 10,6 juta berada di perkotaan (8,52 persen) dan 17,9 di perdesaan (14,42 persen) (BPS, Juni 2014). Kondisi ini tentu sangat meng khawatirkan di mana masih tinggi nya penduduk miskin di daerah perdesaan yang semestinya menjadi lumbung ekonomi. Yang lebih mengkhawatirkan selain tingkat kemiskinan yang tinggi, fenomena ketergantungan pada pangan yang sedemikian besar itu juga terjadi pada masyarakat perdesaan atau rumah tangga pertanian.
Kemerdekaan pangan Pada masa dahulu, Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia telah menggelorakan kata `makanan adalah senjata'. Hal ini ia katakan jauh sebelum kalimat food is a weapon. Dari sini tentu kita dapat memetik makna bahwasanya perang belumlah usai dan mungkin tidak akan pernah usai. Namun, sampai saat ini kita masih belum tersadarkan bahwasanya perang bukanlah harus ada bau mesiu, dentuman senjata, dan genangan darah.
Perang yang harusnya kita pahami saat ini adalah perjuangan dalam mewujudkan kedaulatan pangan, melepas belenggu impor. Mestinya kita jadi pemenang karena memiliki tanah yang subur, air yang berlimpah yang merupakan amunisi tak terhingga. Ketidakmampuan meraih kemerdekaan pangan ber arti ketidakberdaulatan sebuah bangsa. Ketahanan ne gara tidak ter lepas dari ketahanan pangan negara tersebut.
Kita masih ingat jatuhnya Uni Soviet atau kekaisaran Romawi tidak terlepas dari melemahnya ketahanan pangan.Menurut Agus Pakpahan (Tempo, 2012), negara-negara besar dan kuat seperti Amerika Serikat atau Uni Eropa memiliki kelebihan pada ketahanan pangan. Ciri utama dari negara adidaya adalah tingkat kesejahteraan petaninya yang dijamin oleh negara dan sistem pertaniannya yang terus berkembang. Ini diperlihatkan oleh tingkat produktivitas per tenaga kerjanya serta oleh skala usaha lahannya yang semakin meluas.
Bagi Indonesia, kesejahteraan petani yang dijamin negara, serta mening katnya produktivitas pangan, hanya menjadi harapan usang yang kerap berhenti di meja diskusi. Kita mungkin pernah ber bangga ketika tahun 1984 mencapai swasembada beras. Namun, itu adalah cerita lama yang kerap di ulang-ulang.
Tidak adanya ketegasan pemerintah saat ini dalam membuat kebijakan investasi yang ber keadilan bagi penambahan lahan pertanian baru, pembangunan, dan rehabilitasi infrastruktur, seperti jaringan irigasi dan lain sebagainya yang itu tentu akan meningkatkan luas panen dan produktivitas.
Ke depan, siapa pun yang menjadi pemimpin di negeri gemah ripah lohjinawiini harus bisa membangun kerja sama yang apik antara pemerintah pusat dan daerah, swasta dan BUMN, serta petani dalam upaya peningkatan produksi pangan domestik.
Dan juga harus dapat mengatur dan menjaga keseimbangan antara kepentingan petani dan masyarakat umum agar produk pangan lokal tidak kalah pamor dengan produk impor, dari segi kualitas maupun harga.
Karena pangan adalah kemerdekaan.
Ketika Indonesia telah dapat mandiri dan tidak terikat dengan negara lain dalam menentukan kebijakan pangannya guna menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya dengan sumber daya lokal yang dimiliki, maka inilah kemerdekaan sesungguhnya.
Namun, jika belum, pertanyaannya adalah masihkah kita bangga merasa merdeka lalu merayakan kemerdekaan di saat kedaulatan pangan masih terjajah?
YULI AFRIYANDI
Alumnus Pascasarjana Ekonomi Islam UII Yogyakarta