Senin 18 Aug 2014 12:00 WIB
tajuk

Memaknai Kemerdekaan

Red:

Ahad (17/8) kemarin usia Indonesia sebagai negara merdeka sudah mencapai 69 tahun. Untuk sebuah negara yang berdaulat, umur kemerdekaan Indonesia memang sudah tak lagi muda. Umur 69 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk melakukan sesuatu. Bahkan jika kita mencoba membandingkan dengan usia manusia, 69 tahun adalah usia ketika seseorang telah mencapai segala sesuatu yang dicita-citakan dan sedang menikmati hari tuanya.

Dalam perjalanan 69 tahun kemerdekaan negeri tercinta ini, persoalan muncul silih berganti dan harus dihadapi. Kemerdekaan dari penjajahan secara hakiki, memang sudah tidak pernah lagi dihadapi Indonesia. Sejak menyatakan sebagai negara berdaulat, rongrongan penjajah tak lagi muncul, kecuali di awal-awal kemerdekaan.

Namun, merdeka dalam hal lain masih belum mampu diwujudkan. Saat Orde Baru, rakyat merasa tidak merdeka dalam berbicara karena masih sangat dibatasi. Kini, ketika seluruh elemen masyarakat sudah bebas mengemukakan pendapat, belenggu lain masih membekap masyarakat, antara lain soal ekonomi, budaya, dan sosial.

Penjajahan model baru seperti di bidang ekonomi dinilai menjadi salah satu alasan pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Penguasaan asing di sektor-sektor ekonomi nasional menambah anggapan soal penjajahan di bidang ekonomi ini. Belum lagi para pelaku ekonomi di Indonesia dan elite-elite politik di negeri ini juga ikut memberi andil belum bisa merdekanya rakyat Indonesia dari terpaan kemiskinan. Penguasaan ekonomi nasional oleh pihak asing ditambah tingkah laku korup para pejabat dan wakil rakyat di lembaga dewan membuat impian Indonesia bisa merdeka dari sisi ekonomi semakin sulit dicapai.

Kesejahteraan sebagaimana kata kunci dari kemerdekaan sejauh ini belum bisa diimplementasikan secara sempurna. Ketimpangan antara si kaya dan si miskin masih cukup lebar. Masyarakat yang hidup dalam kategori miskin pun angkanya masih besar. Data yang dikemukakan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2014 menyebutkan, jumlah penduduk miskin mencapai 28,28 juta jiwa.

Tentu saja, jumlah 28,28 juta jiwa tersebut bukanlah angka yang kecil. Apalagi, sebagian besar atau 17,7 juta orang miskin tersebut berada di desa-desa seluruh Indonesia. Data ini bisa menggambarkan bahwa sentra-sentra ekonomi yang mampu mengangkat masyarakat dari kemiskinan belum merata hingga ke desa, tapi masih memusat di kota-kota.

Perlu kerja keras berbagai kalangan untuk merdeka dari kemiskinan. Ini bukan pekerjaan yang tidak mungkin. Perlu langkah besar dan sungguh-sungguh untuk merealisasikannya. Bagaimanapun, lepas dari kemiskinan adalah cita-cita pendiri negeri ini. Bila para pejuang kita di tahun 1945 mampu melepaskan diri dari penjajahan negara lain, maka kita kini juga bisa mewujudkan kemerdekaan dari kesengsaraan seluruh lapisan masyarakat.

Sebab, nilai dari kemerdekaan adalah kerja keras dan perjuangan. Dan dua nilai pokok ini telah dicontohkan para pejuang di era kemerdekaan. Sekarang tinggal kita mau berjuang dan bekerja keras untuk memaknai kemerdekaan guna melepas diri dari kungkungan ekonomi, maraknya korupsi, dan budaya Barat, atau lebih suka berleha-leha?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement