Sambil menunggu proses akhir pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi, presiden terpilih Joko Widodo langsung tancap gas: membentuk Tim Transisi. Tim untuk memuluskan proses transisi dari presiden lama ke presiden baru. Tim yang dikomandani eks menperindag Rini Soemarno itu punya tiga tugas. Pertama, menuntaskan pembahasan RAPBN 2015. Kedua, mengkaji kelembagaan presiden, arsitektur kabinet dan kelompok kerja untuk mempercepat visi dan misi. Ketiga, menyusun konsep skala prioritas jangka pendek dan menengah berdasarkan visi, misi, dan janji-janji kampanye Jokowi-JK. Tim transisi hanya membuat rekomendasi, keputusan akhir sepenuhnya di tangan Jokowi-JK.
Dalam visi, misi, dan janji kampanye Jokowi-JK bertekad membawa Indonesia berdaulat di bidang pangan. Tampak dalam visi, misi, dan program kerja Jokowi-JK memprioritaskan soal tanah/lahan. Tanah merupakan harta tak ternilai. Bagi petani, bukan hanya bagian hidup, tanah adalah sumber kehidupan, simbol martabat dan identitas. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang dibela hingga mati). Artinya,tanah memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu karenanya, redistribusi tanah (landreform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang struktur politik, ekonomi, dan sosialnya kukuh dan baik, seperti AS, Tiongkok, Jepang, atau Korea memulai pembangunan ekonominya lewat landreform. Landreform jadi bagian penting menata struktur politik-ekonomi-sosial yang feodalistik.
Indonesia memulai landreform tahun 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-cita pendiri bangsa saat itu adalah menata ulang struktur agraria nasional yang feodalistik dan kolonialistik serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok menjadi struktur agraria yang berkeadilan sosial. Landreform dilakukan setelah UU Pokok Agraria No 5/1960 disahkan bersamaan lahirnya UU Nomor 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Sayang, landreform yang menurut Bung Karno "bagian mutlak revolusi" ternoda konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat. Kelompok kiri pendukung landreform bersitegang dengan kelompok kanan penolak landreform. Stabilitas politik terguncang. Landreform era Bung Karno terhenti seiring pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto tak menjadikan landreform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun landreform dimusuhi dan diberangus. Bahkan, para penganjurnya dicap "kiri".
Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) amat tepat menggambarkan kondisi agraria hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama, kepemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua, konflik penguasaan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam makin masif. Ketiga, peraturan yang terkait agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif, sektoral, sentralistis, lebih berpihak pada pemodal besar dan pemegang kuasa, dan tidak ada pengaturan memadai guna melindungi HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal. Keempat, peraturan yang terkait dengan konservasi SDA tidak memberi jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka panjang.
Dampaknya, tumpang-tindih peraturan membuat tak jelasnya otoritas atas SDA dan salah urus pengelolaan SDA. Akibatnya, terjadi pengurasan dan pengerukan SDA tanpa batas. Hasilnya adalah kemiskinan mayoritas rakyat.
Pada 2006 Presiden SBY pernah berjanji membagikan 8,15 juta hektare lahan untuk rakyat. Secara ekonomi, landreform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen, dan infrastruktur—yang dikenal reforma agraria—akan membuat rakyat lebih berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997), dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford, 2004). Reforma agraria bisa jadi solusi soal-soal struktural, seperti pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria di segelintir orang, tingginya sengketa/konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan energi, dan sebagainya
Delapan tahun berlalu janji tinggal janji. Struktur sosial-ekonomi yang timpang tidak dikoreksi, bahkan kian akut. Ini tampak dari kepemilikan lahan. Hanya 0,2 persen penduduk yang menguasai 56 persen aset nasional dengan konsentrasi aset 87 persen dalam bentuk tanah. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Bahkan koefesien gini lahan sebagai alat ukur ketimpangan dalam penguasaan lahan sudah mencapai 0,536 (Winoto, 2010), melampaui batas psikologis "titik ledak" gejolak sosial di perdesaan.
Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tunatanah. Di sisi lain, 7,3 juta hektare tanah atau 133 kali luas negara Singapura yang dikuasai swasta dan BUMN ditelantarkan. Sekitar 1,935 juta hektare tanah yang telantar merupakan tanah hak guna usaha (Winoto, 2010). Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk ketimbang kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997). Konsentrasi kekayaan Indonesia kini lebih parah dibandingkan negara tetangga: 3 kali lebih tinggi dari Thailand, 4 kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dari Singapura (Winters, 2011).
Tampaklah salah satu persoalan mendasar negeri ini sesungguhnya ketimpangan kepemilikan sumber daya lahan. Ketimpangan itu membuat kesenjangan kaya-miskin kian melebar, seperti terlihat dari meroketnya Gini Rasio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2013 (kian tinggi kian timpang). Ini pertama kalinya Gini Rasio masuk ketimpangan menengah. Tanpa menyentuh masalah struktural ini, akan sulit untuk melepaskan warga dari jerat kemiskinan dan pengangguran, termasuk bisa berdaulat di bidang pangan.
Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)