Selasa 19 Aug 2014 13:00 WIB

Memaknai Kemerdekaan

Red:

Pada Agustus 1945, para pendiri Indonesia membentuk pemerintah negara Indonesia dengan janji untuk memajukan kesejahteraan umum. Janji tersebut telah 69 tahun berlalu disematkan kepada pemerintah dan bangsa Indonesia sebagai penerima hadiah kemerdekaan untuk dapat memenuhinya.

Selama bertahun-tahun, pemerintah menerjemahkan makna kesejahteraan umum dengan berbagai indikator ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, besaran produk domestik bruto (PDB), dan tingkat kemiskinan. Tidak mengherankan jika setiap tahun presiden selalu melaporkan perkembangan indikator tersebut serta target dalam satu tahun ke depan pada setiap ritual pembacaan nota keuangan.

Pemerintah selalu berbangga bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia terus meningkat yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir dan turunnya angka kemiskinan. Namun, kita patut untuk bertanya apakah memang berbagai indikator tersebut sudah cukup untuk menggambarkan situasi kesejahteraan di Indonesia saat ini?

Memang selama ini, perdebatan mengenai indikator ekonomi mana yang paling dapat menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat di suatu daerah selalu menghiasi ruang diskusi, baik di kalangan akademisi maupun di kalangan praktisi pembangunan. Selama bertahun-tahun, pertumbuhan PDB selalu dijadikan sebagai patokan dalam memotret pembangunan suatu daerah, sementara standar hidup masyarakat ditentukan dari PDB per kapita (Thirlwall, 2008).

Dalam konteks kemiskinan, biaya hidup minimal menjadi standar menentukan garis kemiskinan untuk mengukur jumlah penduduk miskin. Penggunaan indikator seperti ini ditujukkan untuk dapat membandingkan seberapa besar peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan. Sekaligus untuk membandingkan prestasi pembangunan negara lain. Persoalannya Indonesia menggunakan garis kemiskinan rata-rata hanya sekitar Rp 260 ribu per bulan, sementara standar internasional menggunakan 2 dolar AS per hari.

Di samping terdapat perbedaan penggunaan indikator kuantitatif tersebut, banyak kalangan yang mengkritisi penggunaan indikator ini. Amartya Sen, seorang ekonom asal India yang juga peraih Nobel Ekonomi tahun 1998 mengkritik bahwa indikator moneter tidak cukup untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan suatu daerah.

Sen menilai bahwa mengukur kesejahteraan hanya menggunakan indikator moneter seperti tingkat pendapatan tidak akan mampu menggambarkan kondisi kesejahteraan sesungguhnya. Betul bahwa tingkat pendapatan adalah salah satu indikator penting, tapi indikator bukanlah sebuah tujuan, melainkan sekadar alat untuk mencapai tujuan utama yaitu kebebasan.

Pembangunan, menurut Sen, adalah proses untuk memperluas kebebasan sehingga kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan yang rendah, melainkan juga dilihat dari absennya kapabilitas dasar manusia. Tidak adanya kapabilitas dasar dari manusia dapat tergambar dalam berbagai hal, seperti kematian prematur, minimnya pendidikan, dan kekurangan gizi (Sen, 1999).

Pemikiran Amartya Sen ini mendorong disusunnya indeks pembangunan manusia (IPM) oleh UNDP, sebuah badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak 1990, UNDP mengeluarkan laporan mengenai IPM dari negara-negara di dunia. Indikator IPM ini dianggap sebagai sebuah alternatif dari indikator konvesional, seperti PDB per kapita dalam mengukur tingkat pembangunan dan kesejahteraan.

Lantas, bagaimana situasi kesejahteraan di Indonesia jika menggunakan indikator yang dikeluarkan oleh UNDP? Berdasarkan laporan UNDP yang dikeluarkan akhir Juli 2014, Indonesia memiliki nilai IPM sebeser 0,684 dan berada di posisi 108 dari 287 negara. Posisi Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan beberapa negara ASEAN dan rata-rata negara Asia Timur dan Pasifik.

Lebih dari itu, sejak tahun 2000, IPM di Indonesia berada di bawah rata-rata kategori medium human development, padahal pada 1995 IPM Indonesia masih di atas rata-rata kategori tersebut. Walaupun IPM Indonesia terus meningkat, peningkatannya tidak secepat negara-negara lain di dunia sehingga secara peringkat Indonesia sulit untuk menembus peringkat 100 besar dunia.

Peran aktif negara

Menilik masih rendahnya nilai IPM Indonesia, diperlukan berbagai langkah untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Dalam konteks ini, dibutuhkan goodwill dan peran pemerintah yang konkret, aktif, dan kuat. Pentingnya peran pemerintah yang aktif juga diakui oleh UNDP, di mana pada laporan tahun 2013 UNDP menyatakan bahwa negara pembangunan (developmental state) yang aktif adalah penggerak utama dalam pembangunan manusia di suatu negara.

Negara perlu hadir untuk memastikan bahwa kebutuhan manusia yang dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Negara yang berkomitmen pada pembangunan yang berorientasi pada manusia (people-friendly development) harus memiliki strategi yang jelas dalam pembangunan manusia jangka panjang dan birokrasi yang kompeten. Dua hal yang tidak terlihat dari pemerintah kita saat ini.

Tidaklah ada artinya jika pemerintah selalu membanggakan anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara jika uang tersebut justru habis untuk belanja rutin dan tidak dibelanjakan untuk investasi pendidikan akibat nihilnya strategi jangka panjang dan rendahnya kompetensi birokrat di Indonesia.

Selain itu, peran negara yang kuat juga dibutuhkan dalam menguatkan institusi di dalam negeri. Lemahnya institusi formal memiliki kecenderungan untuk memberikan ruang terhadap terbentuknya kelompok-kelompok yang bermain dalam aktivitas ilegal seperti jaringan koruptor. Jika ini terjadi, yang akan menjadi korban adalah kelompok miskin dan pembangunan manusia di Indonesia.

Namun, di atas itu semua, satu hal yang perlu diingat bahwa IPM adalah sebuah indikator yang perubahannya memerlukan waktu yang panjang, berbeda dengan pertumbuhan ekonomi yang perubahannya dapat dilihat dalam jangka pendek. Oleh sebab itu, hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah selanjutnya untuk terus konsisten dalam mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada pembangunan manusia sehingga pada akhirnya janji kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terbayarkan. Kita tunggu apakah revolusi mental yang menjadi jargon Pak Jokowi mampu menjawab tantangan ini.

Imaduddin Abdullah

Peneliti pada Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement