Selasa 19 Aug 2014 13:00 WIB

Rokok Seram

Red:

Baru berjalan beberapa pekan, ketentuan pemuatan gambar seram pada bungkus rokok mulai membuat cemas produsen. Mulai muncul klaim-klaim bahwa konsumsi, penjualan, dan produksi rokok anjlok. Ada pengakuan dari produsen rokok di sejumlah wilayah, misalnya, bahwa penjualan rokok melorot hingga 30 persen.

Belum ada data resmi dan terverifikasi, sesungguhnya. Bagaimanapun, ketentuan tersebut masih dalam era transisi. Sejumlah pabrik masih memasarkan stok lama mereka yang beredar tanpa gambar seram dampak merokok tersebut.

Bahwa merokok dapat merusak kesehatan, bukanlah kabar baru. Peringatan-peringatan berupa teks sudah lama sampai ke dalam benak masyarakat kita, termasuk tentang bahaya terhadap janin dan ancaman impotensi. Namun, produksi dan konsumsi rokok kita terus meningkat. Sejak 2009, negeri kita masuk dalam tiga besar konsumen rokok terbesar dunia di bawah Cina dan India.

Gambar seram hanyalah salah satu alat. Penurunan prevalensi perokok di berbagai negara terbukti harus merupakan akumulasi dari berbagai upaya yang secara internasional tercakup dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia salah satu perancang kerangka kerja tersebut, namun kini menjadi satu-satunya negara di Asia Pasifik yang tak meratifikasinya.

Gambar seram hanya mencegah calon perokok menjadi perokok. Gambar itu juga akan meredam hasrat para perokok pemula. Tapi, gambar itu diyakini tidak akan memengaruhi konsumen yang telah akrab dengan rokok untuk berhenti. Paling-paling sebatas mengurangi sedikit kenikmatan.

Penurunan secara dramatis prevalensi perokok hanya terjadi melalui aksesi berbagai aspek kontrol. Di dalamnya tercakup larangan beriklan, pembatasan promosi, ekstensifikasi kawasan bebas asap rokok, pembatasan usia yang diizinkan membeli rokok, dan peningkatan nilai cukai rokok. Di Thailand, misalnya, pengurangan konsumsi rokok terjadi setelah lonjakan cukai membuat harga rokok sangat mahal.

Kita paham ada kepentingan ekonomi masyarakat pula dalam industri rokok nasional. Pemerintah mendapatkan dana cukai hingga Rp 114 triliun. Sekitar 2 juta petani tembakau juga dapat menghidupi diri dan keluarga. Belum lagi sekitar 1,5 juta petani cengkih yang terbantu kesenangan perokok kita pada jenis kretek. Ada pula ratusan ribu buruh pabrik rokok, juga pedagang pengecer, yang menggantungkan hidup pada perdagangan rokok.

Dengan tingkat ketergantungan setinggi itu, wajar perlawanan terhadap aksesi FCTC begitu kuat. Tapi, sebagaimana kisah tentang gambar seram dampak merokok, FCTC sesungguhnya tidak benar-benar mengurangi konsumsi perokok. Kontrol tersebut lebih tepat disebut mengurangi potensi pertumbuhan konsumsi rokok.

Transaksi rokok tahun lalu sekitar Rp 210 triliun. Dengan pencantuman gambar seram, transaksi diprediksi masih akan naik 9,5 persen menjadi Rp 230 triliun. Jumlah produksi rokok pun diperkirakan masih naik dari 351 miliar menjadi 361 miliar batang.

Penurunan prevalensi perokok, sebagaimana terjadi di Thailand, berlangsung setelah 20 tahun pemerintahnya menjalankan aneka pengendalian. Jadi, sebenarnya tak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak mengawalinya sekarang. Sambil mencegah anak-anak muda mengakses rokok, kita sudah bisa mulai mengangsur perubahan kultur menanam petani dan menyediakan lapangan kerja alternatif. Kita tak boleh terburu-buru, tapi juga tak boleh sama sekali tak berusaha.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement