Rabu 20 Aug 2014 12:00 WIB
tajuk

Kebijakan Energi

Red:

Pro kontra kenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kg semestinya tidak terjadi jika kebijakan energi kita sudah tepat. Ketidakkonsistenan peta jalan energi nasional berdampak pada tidak jelasnya prioritas kebijakan energi.

Gambaran ini bisa kita lihat dari semakin membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan makin tidak jelasnya program konversi energi. Ketidakkonsistenan ini pun terlihat dari turunnya kebijakan pembatasan pemakaian solar bersubsidi yang malah kontraproduktif bagi iklim bisnis di sejumlah wilayah.

Kondisi ini pun berdampak negatif terhadap produk energi yang sebetulnya bukan barang subsidi. Sebagai contoh, Pertamina kerap mengalami kesulitan ketika harus menaikkan harga jual elpiji 12 kg. Pemerintah terlihat ragu untuk memberikan ruang lebih luas bagi badan usaha milik negara itu untuk menutup kerugian.

Padahal, seperti diungkapkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), domain harga elpiji nonsubsidi ada di Pertamina. Untuk menekan kerugian yang mencapai Rp 5 triliun pada tahun ini dari bisnis elpiji, sudah sewajarnya jika penyesuaian harga bisa diberlakukan.

Kita harus mendukung BUMN-BUMN yang sehat untuk menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Bandul-bandul yang memberatkan gerak BUMN seperti Pertamina harus dilepaskan agar peran mereka untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bisa terwujud.

Dari kondisi ini, ada tiga hal yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, harus ada kebijakan energi yang komprehensif yang mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan begitu, persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan bisa kita selesaikan secara bertahap.

Kedua, terhadap persoalan mikroenergi, pemerintah harus membuat garis batas jelas terhadap komoditas energi yang mendapat subsidi dan nonsubsidi. Jika memang dirasakan perlu, elpiji 12 kg bisa dikategorikan sebagai barang publik yang disubsidi pemerintah seperti elpiji 3 kg. Jika tidak disubsidi berarti yang berlaku harga keekonomiannya. Sebaliknya, jika disubsidi maka harga pemerintah menjadi patokan.

Degan begitu, sebagai korporat, Pertamina bisa membuat peta jalan bisnis yang lebih strategis untuk menjadi perusahaan kelas dunia. Pertamina bisa melakukan ekspansi usaha baik di dalam maupun di luar negeri jika ada kepastian terkait kebijakan elpiji nonsubsidi.

Ketiga, pengurangan subsidi BBM harus menjadi prioritas pemerintah agar tidak mengganggu kesinambungan ekonomi. Subsidi yang besar berdampak pada kecilnya ruang fiskal untuk investasi dan pembangunan pada APBN kita.

Hal ini akan menyulitkan upaya pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup rakyat. Yang terjadi malah memburuknya perekonomian yang ditandai dengan negatifnya neraca pembayaran Indonesia.

Kita berharap pemerintah bisa bertindak cepat untuk memutuskan persoalan-persoalan krusial di atas. Semakin cepat bandul-bandul yang mengekang kaki ini dilepaskan, semakin baik bagi kesehatan perekonomian nasional.

Kita memiliki momentum besar untuk memperbaiki masalah-masalah yang membuat negeri kita tidak memiliki kedaulatan energi ini, yakni terbentuknya pemerintahan baru per 20 Oktober mendatang. Kita ingin ada perbaikan kebijakan energi dari pemerintahan di bawah kepala negara baru.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement