Bukan kebetulan, jika para perumus Dasar Negara Kesatuan RI bersepakat dengan rumusan "Kemanusiaan yang adil dan beradab!" Istilah adil dan beradab sangat akrab di kalangan bangsa Indonesia. Beratus tahun sebelum datangnya penjajah, bangsa Indonesia telah menerapkan sistem pendidikan beradab --yang dikenal sebagai "pesantren". Ciri utamanya, keilmuan, pengamalan, dan keteladanan diterapkan secara terpadu.
Dari pesantren inilah lahir banyak ilmuwan dan pemimpin bangsa. KH Wahid Hasyim, misalnya, salah satu perumus dasar negara, adalah produk pesantren yang menguasai berbagai bidang ilmu dan kepemimpinan. Ia putra dan murid dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, yang dikenal sebagai penulis kitab tentang adab, yaitu Adabul 'Alim wal-Muta'allim.
Merujuk pada rumusan "kemanusiaan yang adil dan beradab itu", sudah saatnya para pegiat pendidikan menggali kembali makna adab. Para ulama Islam banyak menulis tentang adab. Imam Bukhari menulis kitab Adabul Mufrad. Imam al-Mawardi menulis Adab ad-Dunya wal-Din, dan sebagainya. Seorang ulama menasihati anaknya: "Yaa bunayya, ashibil fuqahaa wal-ulamaa, wa-ta'allam minhum, wa-khudz adabahum." (Wahai anakku, bergaullah dengan para fuqaha dan ulama, belajar pada mereka, dan ambillah adab mereka).
Nabi Muhammad SAW pun berpesan kepada umatnya: "Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka." (Akrimuu aulaadakum, wa-ahsinuu adabahum)." (HR Ibn Majah). Kitab Adab al-Alim wal-Muta'allim, karya KH Hasyim Asy'ari, menyebutkan, bahwa Imam asy-Syafii rahimahullah, pernah ditanya, "Bagaimana usaha Tuan dalam mencari adab?" Sang Imam menjawab, "Aku senantiasa mencarinya laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang."
Konsep "pendidikan beradab" (proses pembentukan manusia beradab), dikonseptualkan secara komprehensif oleh Prof Naquib al-Attas, saat bertindak sebagai keynote speaker dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama di Makkah, 1977. Dalam wawancara dengan cendekiawan Muslim AS, Hamza Yusuf, Prof Naquib al-Attas juga menyebutkan, bahwa akar krisis yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah loss of adab.
Konsep pendidikan beradab ini kemudian dijabarkan dan dioperasionalkan oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud melalui sejumlah karyanya, seperti Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Expostion of the Original Concept of Islamization, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa (Indonesia, Bosnia, Rusia, dll.).
Menurut al-Attas, "Adab is recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one's proper place in relation to that reality and one's physical, intellectual and spiritual capacities and potentials. (SM Naquib al-Attas, the Concept of Education in Islam." (1980).
Intinya, adab adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai harkat dan martabat yang ditentukan Allah. (Lihat, al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (2001). Siswa beradab akan ikhlas taat kepada Tuhannya, hormat guru dan orang tua, cinta sesama teman, dan gigih belajar dengan jujur untuk mengembangkan potensi dirinya sebagai anugerah Allah SWT.
Pendidikan beradab
UU Pendidikan Nasional No 20/2003 dan UU Pendidikan Tinggi No 12/2012, telah memberikan landasan yang memadai untuk membangun sistem pendidikan nasional yang beradab. Aplikasinya, komponen sistem pendidikan--tujuan, kurikulum, proses, dan evaluasi--dirumuskan berdasar konsep Pendidikan Beradab (ta'dib).
Tujuan pendidikan nasional untuk membentuk manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, mandiri, dan sebagainya, perlu dijabarkan ke dalam standar kompetensi, sesuai potensi dan kondisi siswa, "tuntutan pasar", dan kewajiban ilmu fardhu ain (kewajiban tiap personal).
Mengacu pada kompetensi yang beradab itulah dirumuskan kurikulum yang beradab pula. Yakni, kurikulum yang unik untuk setiap peserta didik, dan mengacu pada perpaduan proporsional antara ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Tidak beradab, kurikulum yang mengarahkan siswa sebagai kelanjutan "peradaban kera", cinta materi secara berlebihan, sehingga kebutuhan primer ibadah (QS 51:56) diletakkan di bawah kebutuhan makan dan minum.
Evaluasi merupakan komponen sistem pendidikan yang sangat menentukan sukses tidaknya pendidikan. Iman, takwa, akhlak, tidak bisa dievalusasi secara kognitif semata. Aplikasinya sederhana. Siswa pemabok, penjudi, pembunuh, tidak bisa lulus, kecuali bertobat sungguh-sungguh. Mahasiswa Muslim di UI, IPB, ITB, Unpad, dan lain-lain, tak patut lulus, jika melalaikan shalat lima waktu, buta aksara Alquran, durhaka kepada guru dan orang tua, curang dalam ujian, dan sejenisnya. Sepintar apa pun si mahasiswa. Sebab, begitulah panduan Tujuan Pendidikan sesuai UU No 20/2003 dan UU No.12/2012.
Inilah hakikat pendidikan. Dengan pendidikan yang hakiki inilah, Indonesia insya Allah akan menjadi negara maju, kuat, adil, makmur, dan beradab (negara takwa). Begitu pentingnya adab, sampai Imam Syafii menegaskan, "Aku akan mencarinya, laksana seorang ibu mencari anak satu-satunya yang hilang."
Kita berharap, pendidikan kita tidak melahirkan manusia tak beradab (biadab): yang membangkang pada Allah, utusan-Nya, serakah harta dan tahta, serta gila hormat dan popularitas. Kita sepakat, bahwa Kemanusiaan yang adil dan beradab" bukan slogan kosong dan alat propaganda politik. Wallahu a'lam bish-shawab.
Adian Husaini
Peneliti Tamu di Casis-UTM Kuala Lumpur