Sabtu 06 Sep 2014 13:15 WIB
tajuk

Tolak Perkawinan Beda Agama

Red: operator

Lima mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) membuat heboh. Mereka mengajukan uji materi Pasal 2 Ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mah kamah Konstitusi (MK). Mereka menuntut agar perkawinan beda agama dilegalkan.

Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan berbunyi, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing, agamanya, dan kepercayaannya itu". Menurut mereka, pasal tersebut melanggar hak beragama yang dijamin UUD 1945.

Mereka berpendapat, pasal tersebut memaksa setiap warga negara untuk mematuhi hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan. Padahal, hak beragama adalah bagian dari hak yang paling privat.

Kita menilai masalah ini seharusnya tidak dipersoalkan lagi.

Masalah perkawinan di Indonesia sudah selesai begitu UU Perkawinan diundangkan. Bahkan lebih jauh lagi, sudah selesai saat UUD 1945 disahkan. Tidak ada gunanya mempersoalkan halhal yang justru akan menimbulkan masalah baru.

Justru jika perkawinan beda agama dilegalkan, itu merupakan pelanggaran konstitusi. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menya takan Indonesia negara berketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin warganya dalam menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakininya. Pasal ini secara jelas menyebutkan bahwa negara memberikan jaminan pada setiap warga negara untuk mempraktikkan ajaran agamanya. Salah satu bentuk kebebasan ibadah agama itu terwujud dalam pelaksanaan perkawinan. Agama mengatur tata cara perkawinan, termasuk apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Enam agama yang diakui di Indonesia menolak pernikah an berbeda agama. Pelegalan perkawinan beda agama berarti pemerintah tidak menghormati aturan yang berlaku dalam agama.

Dalam agama Islam, misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang isinya mengharamkan pernikahan beda agama. Larangan perkawinan beda agama merupakan ajaran agama Islam yang tidak bisa ditawar-tawar.

Selain bertentangan dengan konstitusi dan aturan agama, pelegalan perkawinan beda agama juga berpotensi menimbulkan masalah dalam keluarga. Anak-anak akan tumbuh dalam kebingungan karena tidak jelas akidah orang tuanya. Padahal, nilainilai agama harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Nilainilai agama yang kuat akan menjadi benteng bagi anak-anak untuk menangkal pengaruh negatif lingkungannya.

Mereka yang setuju pelegalan perkawinan beda agama selama ini selalu berlindung di balik hak asasi manusia (HAM). Mereka lupa bahwa apa yang mereka inginkan jika dipaksakan juga akan melanggar HAM orang banyak. Adalah tidak tepat memperjuangkan sesuatu dengan alasan HAM, tapi dalam waktu bersamaan melanggar HAM orang lain.

Selayaknya Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan dipertahankan. Mereka yang tidak setuju dengan pasal ini, silakan untuk bersikap berbeda.

Keputusan untuk menjalankan aturan agama adalah pilihan pribadi.Tidak ada paksaan untuk menjalankan ibadah agama. Toh, walaupun pasal ini selama ini sudah berlaku, tetap saja ada banyak pasangan berbeda agama yang melakukan perkawinan.

Karena itu, kita mengharapkan agar Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terhadap Pasal 2 Ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut. Kita yakin hakim MK akan mengeluarkan keputusan bijak yang tidak menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement