Senin 08 Sep 2014 12:00 WIB
Tajuk

Kebijakan Kreatif

Red:

Pemerintah memang belum benar-benar menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM). Bahkan, harga jual BBM bersubsidi tampaknya juga tidak akan dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai pemerintahannya berakhir 20 Oktober mendatang. Jebolnya anggaran subsidi energi dalam APBN 2014 sepertinya akan ditanggung oleh pemerintahan mendatang, duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Kemenangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 akan bertubrukan dengan tantangan nyata pengelolaan anggaran negara akibat pemakaian BBM yang overkuota. Jokowi-JK pun sudah melakukan lobi-lobi politik agar SBY mau menaikkan harga BBM saat ini. Alasannya tentu tak lain agar popularitas pemerintahan baru mendatang tidak langsung anjlok lantaran rakyat pasti tak ingin ada kenaikan harga BBM. Apalagi, selama ini Jokowi-JK, terutama Jokowi, diidealkan publik sebagai figur yang merakyat.

Bisa dibayangkan apabila Jokowi langsung menaikkan harga BBM hanya beberapa saat setelah resmi menjabat sebagai presiden. Label prorakyat bisa jadi langsung terbang menjauh dari sosok Jokowi.

Wacana "keharusan" naiknya harga BBM agar anggaran negara tidak jebol, dan juga memperluas ruang fiskal, terbukti telah mendapatkan beragam respons dan dampak nyata dari pelaku industri. Setelah para pelaku industri kecil teriak memohon agar harga BBM tidak naik tahun ini, kini giliran pelaku usaha sektor logistik. Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menyatakan, tiap kenaikan tarif solar Rp 1.000 akan menaikkan harga pengiriman logistik sebesar lima persen. Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) bahkan sudah "mengancam" akan menaikkan biaya jasa kurir logistik sekitar 20 sampai 25 persen apabila harga BBM benar-benar dinaikkan.

Berdasarkan pengalaman selama ini, setiap kali kenaikan harga BBM memang selalu diikuti dengan kenaikan harga barang-barang dan biaya jasa lainnya. Lihat saja kondisi saat ini. Kenaikan harga BBM baru berkutat dalam wacana, tetapi respons pelaku industri sudah sangat agresif. Hal ini menggambarkan bahwa rakyat dan pelaku industri sejatinya tak ingin ada kenaikan harga BBM.

Dengan psikologi rakyat yang seperti ini, sudah sepatutnya pemerintah mendatang memeras pikiran mereka untuk mencari solusi alternatif selain "keharusan" menaikkan harga BBM. Lalu, untuk mengatasi jebolnya penggunaan BBM bersubsidi, pemerintah bisa menerapkan pembatasan yang ketat agar BBM bersubsidi yang selama ini disedot kendaraan pribadi, terutama mobil, harus dicegah dengan upaya yang luar biasa.

Kenaikan harga BBM dari Rp 150 per liter pada 1980 hingga Rp 6.500 per liter di 2014 terbukti tidak membawa kesejahteraan rakyat. Logikanya sederhana, pemerintah memang dapat tambahan uang dari kenaikan harga BBM. Akan tetapi, harga-harga barang dan jasa juga ikut naik. Efek domino inilah yang membuat uang rakyat jadi lebih sedikit karena harus bayar BBM lebih banyak.

Kreativitas pemerintahan mendatang sungguh diperlukan agar bisa menangani masalah krisis anggaran yang saat ini sedang terjadi. Jangan lagi membebankan masalah negara kepada rakyat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement