Tiga belas tahun lalu, tepatnya 11 September 2001, warga dunia dibuat tarkaget-kaget. Serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York City, Amerika Serikat, yang menewaskan hampir 3.000 orang itu jelas menimbulkan duka mendalam.
Dua pesawat sengaja diarahkan menabrakkan diri ke gedung ikon Kota New York tersebut. Satu pesawat lain disetir untuk dijatuhkan ke Pentagon dan satu pesawat lagi jatuh di Pittsburgh, Pennsylvania.
Foto:Mark Lennihan/AP
World Trade Center.
Presiden Amerika Serikat George W Bush saat itu sedang berkunjung ke sebuah sekolah dasar. Rona mukanya tampak berubah geram ketika anak buahnya melaporkan kejadian pengeboman tersebut. Bush pun menabuh genderang perang melawan teror.
Dengan menggunakan slogan "War on Global Terrorism", Bush memulai perangnya dengan menginvasi Afghanistan pada 2002. Afghanistan menjadi tertuduh karena di negeri itulah Usamah bin Ladin, pemimpin Alqaidah, bersembunyi sekaligus diklaim mengendalikan serangan teror ke AS.
Jargon lain yang diusung Bush, "You are either with us or against us"—jika tidak memihak AS, berarti Anda memilih memusuhi AS—juga digunakan untuk menyerang Irak pada 2003. Dengan dalih Presiden Irak Saddam Husein menyembunyikan senjata pemusnah massal, AS berhasil menggalang kekuatan koalisi untuk menjatuhkan Saddam dari tampuk kekuasaan.
Dari sinilah kemudian menyebar gerakan global untuk melenyapkan "terorisme". Istilah yang kemudian terkesan hanya disematkan pada kelompok-kelompok gerakan Islam. Teror berbalas teror pun dimulai.
Gerakan global melawan terorisme ini bukannya padam, dalam artian pelaku teror menjadi berkurang atau bahkan hilang. Yang terjadi malah sebaliknya, memunculkan kebencian di dunia Islam terhadap segala yang berbau Barat, dalam hal ini dimaknai sebagai Amerika.
Karena itu, tak heran kelompok Alqaidah yang semula hanya berkembang di Afghanistan, bukannya hangus, justru makin menyebar. Jaringan Alqaidah meluas dan mendapatkan dukungan dari sekelompok entitas tertentu, seperti di Suriah, Irak, Libya, Nigeria, Sudan, dan Pakistan.
Jaringan Alqaidah bahkan kemudian berevolusi menjadi kelompok-kelompok sel baru, seperti yang terjadi di Suriah dan Irak dengan berdirinya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok yang merupakan transformasi dari Alqaidah itu kini mendaulat diri menjadi Negara Islam atau Islamic State (IS).
Hampir serupa dengan apa yang dilakukan Bush, Presiden Barack Obama pada Rabu (10/9) malam merestui dimulainya serangan udara terhadap basis-basis kekuatan ISIS di wilayah Suriah. AS pun berhasil meyakinkan Inggris, Prancis, dan Jerman untuk membantu mengusir kekuatan ISIS dari wilayah Irak meski ketiga negara ini berdalih bantuan militer mereka dimaksudkan sebagai aksi kemanusiaan atas terusirnya ribuan warga minoritas Yazidi yang diberitakan siap dibantai pasukan ISIS.
"Saya tak akan ragu bertindak terhadap ISIS di Suriah dan Irak," kata Obama pada malam peringatan 13 tahun serangan 11 September. Menurut Obama, inilah tugas utamanya sebagai presiden. Jika ada kelompok mengancam AS, tak ada tempat aman bagi mereka.
Situasi yang dialami Obama ini bisa menjadi dejavu kepemimpinan Bush dalam aksi melawan teror. Jika Obama tidak hati-hati, aksi teror yang dilawan dengan teror memungkinkan menumbuhkan simpati bagi sebagian umat Islam. Dan, itulah yang terjadi ketika Bush menabuh teror membalas aksi teror militan Alqaidah. Bukan hanya militan yang tewas, puluhan, bahkan ribuan warga sipil di Afghanistan maupun Irak, turut menjadi korban.
Belajar dari sejarah, pendekatan kekuatan fisik saja tak cukup untuk melunakkan pelaku teror. Teror tak bisa dilawan dengan teror meski bentuknya dilembagakan menjadi sebuah negara.
Pendekatan melalui persuasi dan dialog, seperti akulturasi budaya, empati, bantuan sosial, peningkatan kesejahteraan, memberikan pemahaman keagamaan yang benar, bisa jadi lebih mengena dibandingkan pengerahan kekuatan mesin-mesin perang. Obama sebagai peraih Nobel Perdamaian mesti banyak belajar dari pendahulunya soal ini.
Motif ekonomi dalam perang global melawan terorisme jangan sampai membungkus nurani sebagai manusia. Enyahkan jauh-jauh cara-cara kekerasan dalam melawan kekerasan karena itu akan berbuntut pada kekerasan yang lain.