Senin 15 Sep 2014 12:56 WIB

Ekspansi atau Mati

Red:

Bank Mutiara tinggal selangkah lagi menjadi milik perusahaan investasi J Trust Co Ltd. Perusahaan asal Jepang tersebut telah ditetapkan sebagai pemenang tender divestasi PT Bank Mutiara Tbk oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kini, J Trust tinggal menunggu proses fit and proper test pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelum resmi memiliki saham Bank Mutiara. J Trust dapat menguasai saham hingga 99,9 persen karena Bank Mutiara berada di bawah pengawasan LPS sehingga dikecualikan dari aturan kepemilikan asing maksimal 40 persen pada bank umum.

Babak akhir proses penjualan bank yang sebelumnya bernama Bank Century itu menjadi alarm terbaru bagi sektor perbankan nasional. Apabila J Trust lolos fit and proper test, hampir dapat dipastikan "pemain baru" dari Jepang ini akan menggerus pasar perbankan nasional.

Peraturan Pemerintah (PP) No 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum memang memberikan keleluasaan yang sangat terbuka bagi investor asing memiliki saham bank di Indonesia. Datangnya investor ke Tanah Air memang genderang positif bagi perekonomian bangsa. Namun, di sisi lain, mudahnya investor asing melakukan penetrasi ke pasar perbankan dalam negeri menjadi masalah tersendiri yang tidak bisa dianggap remeh.

Sebelum J Trust benar-benar masuk, pasar perbankan nasional sudah makin terhimpit dengan menjamurnya bank-bank milik asing, bank campuran, dan bank swasta nasional yang dimiliki asing. Dengan kata lain, porsi asing dalam industri perbankan nasional sudah tinggi dengan tren yang terus meningkat.

Sebuah lembaga riset pernah merilis data mengenai peta perbankan nasional. Menurut data ini, dalam satu dasawarsa terakhir telah terjadi pergeseran yang signifikan ihwal penguasaan aset perbankan nasional. Aset bank-bank milik negara dan swasta nasional kian menyusut sementara porsi penguasaan bank-bank milik asing meningkat tajam.

Pangsa aset bank swasta nasional tergerus sekitar 20 persen, yakni dari 42 persen pada 1998 menjadi 22 persen pada 2011. Begitu pun pangsa aset bank BUMN yang turun sembilan persen dari 44 persen menjadi 35 persen pada periode yang sama. Sebaliknya, pangsa bank swasta milik asing melonjak tajam dari hampir nol persen menjadi 21 persen. Bila ditotal dengan bank asing dan bank campuran, total pangsa bank milik asing di Indonesia sudah mencapai 34 persen.

Melonjaknya pangsa pasar bank asing dalam beberapa tahun terakhir memang ditandai dengan masuknya pemodal asing dari berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, India, Korea Selatan, Cina, dan Qatar dengan mengakuisisi bank-bank di Indonesia.

Pada 2015 atau saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai diberlakukan, gelombang modal asing ke perbankan Indonesia diyakini bakal berduyun-duyun masuk. Sementara, perbankan BUMN dan swasta nasional hingga kini masih terseok-seok untuk mengembangkan sayap ke luar negeri. Hanya BNI yang tercatat sebagai bank BUMN yang memiliki cabang di luar negeri. Adapun Bank Mandiri yang ditahbiskan sebagai bank terbesar dari sisi aset hingga kini masih belum mampu menembus negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

Ketidakadilan kompetisi dengan kondisi pasar perbankan nasional terus dirongrong kekuatan asing dus sulit ekspansi ke luar negeri, hendaknya mendapatkan perhatian serius dari para pemangku kewenangan. Kecuali harus segera merevisi PP 29/1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum dan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, pemerintah juga harus segera menjajaki diplomasi dan kerja sama dengan negara-negara yang mayoritas banknya ada di Indonesia.

Pemerintah harus mampu menekan negara-negara tersebut agar menerapkan asas resiprokal menyangkut pembukaan cabang bank nasional. Alasannya sudah jelas, tanpa ekspansi, lambat laun perbankan nasional akan mati di negeri mereka sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement