Rutinitas setiap tahun itu kembali terulang. Selama 17 tahun sejak kasus ini terjadi pertama kali tahun 1997, wilayah Indonesia tidak pernah bebas dari asap akibat kebakaran hutan. Setiap musim kemarau, kepulan asap menyebar di beberapa wilayah. Asap tebal menjadi menu udara yang harus dihirup oleh masyarakat di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Tahun ini, peristiwa tahunan tersebut kembali muncul. Beberapa kota di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi kembali diselimuti kabut asap yang tidak hanya membuat jarak pandang menjadi berkurang, tetapi juga tenggorokan terganggu karena harus mengisap udara yang tidak bersih. Asap kebakaran hutan juga membuat kelopak mata berair.
Jika kita melihat data beberapa tahun lalu, kebakaran hutan membuat aktivitas masyarakat sangat terganggu. Warga diminta lebih banyak di rumah supaya tidak terjangkit penyakit saluran pernapasan. Sekolah terpaksa diliburkan. Beberapa bandara harus ditutup karena jarak pandang yang pendek membahayakan penerbangan.
Tahun ini, aktivitas masyarakat di wilayah yang dipenuhi asap masih tidak separah tahun-tahun lalu. Belum ada sekolah yang diliburkan. Bandara-bandara pun masih bisa didarati oleh pesawat-pesawat komersial. Namun demikian, ancaman lebih buruk dari kebakaran hutan belum berhenti di sini. Potensi pengaruh negatif dari kebakaran hutan sangat mungkin terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya.
Menurut data yang terdeteksi Satelit NOAA 18, sepanjang 2014, di seluruh provinsi terdapat 20.253 titik api. Tujuh wilayah Provinsi Riau juga dinyatakan tidak sehat karena diselimuti kabut asap yang pekat. Partikel debu, berdasarkan Indeks Standar Pengukur Udara (ISPU), lebih tinggi dibanding kandungan oksigen. Beberapa daerah lain berpotensi mengalami hal yang sama.
Berdasarkan hitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian akibat kebakaran hutan untuk wilayah Riau saja, tahun ini mencapai Rp 20 triliun. Sedangkan, bila dihitung total kerugian seluruh Indonesia, bisa mencapai Rp 50 triliun.
Kita menyadari kerugian akibat kebakaran hutan yang disebabkan oleh ulah tangan manusia ini begitu besar. Secara fisik, kebakaran hutan telah merusak ekosistem hutan, di samping tentu saja masyarakat di sekitar hutan. Yang juga memalukan akibat kejadian ini adalah asap-asap tersebut menyelimuti wilayah Singapura dan Malaysia.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kedua negara sudah melakukan protes terhadap ekspor asap dari Indonesia tersebut. Akan sangat memalukan bila asap-asap kebakaran hutan yang disebabkan oleh oknum ini kembali terulang memenuhi udara kedua negara itu. Dunia internasional akan menilai kita akan tidak mampu menyelesaikan persoalan kebakaran hutan yang selalu terjadi setiap tahun.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah dengan dibantu berbagai kalangan mulai aparat keamanan maupun pemilik lahan untuk bahu-membahu mengatasi persoalan ini. Kurun waktu 17 tahun bukanlah rentang yang singkat untuk menyelesaikan masalah ini.
Pertanyaannya, apakah penyelesaian dan penanganan kebakaran hutan sudah berada di jalur yang benar? Rasanya sangat tidak masuk akal bila seluruh potensi untuk menyelesaikan persoalan ini sudah kita gunakan, tetapi kebakaran hutan masih terus terjadi setiap tahun. Kata kunci dari persoalan ini adalah mari kita evaluasi cara penanganan masalah kebakaran hutan selama ini sebelum akhirnya kita mencari langkah lain yang lebih baik.