Salah satu masalah krusial dalam pelayanan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi adalah akomodasi. Menyiapkan akomodasi yang ideal bagi jamaah haji Indonesia yang jumlahnya sangat besar dan heterogen tidaklah mudah.
Idealnya, seluruh akomodasi jamaah haji Indonesia semuanya bagus, berlokasi di satu tempat, serta berdekatan dengan Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Tapi, itu sulit karena akomodasi yang bagus dan dekat terutama dengan Masjidil Haram harganya mahal, di atas plafon biaya jamaah haji Indonesia.
Namun, Kementerian Agama sebagai penanggung jawab utama penyelenggara haji Indonesia bertekad meningkatkan kualitas pengadaan akomodasi jamaah haji selama di Arab Saudi, baik di Makkah, Madinah, maupun Jeddah.
Sesuai Keputusan Dirjen PHU No D Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyiapan Akomodasi Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi, penyediaan akomodasi jamaah haji dilaksanakan dengan memerhatikan prinsip ekonomis, efisien, efektif, transparan, akuntabel, serta sekurang-kurangnya memenuhi lima standar. Kelimanya mencakup: kualitas, wilayah, jarak, administrasi, dan harga.
Misalnya, hotel harus bagus, punya lobi, ada fasilitas tempat shalat, liftnya cukup, kamar mandinya cukup, lokasinya secara umum mudah dikenali oleh jamaah haji Indonesia di Makkah, Madinah, maupun Jeddah, memiliki kemudahan akses ke Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah dan Bandara King Abdul Aziz International Airport (KAAIA) di Jeddah, memungkinkan tersedianya kendaraan umum, serta tidak melebihi jarak yang telah ditentukan, yaitu di Makkah berjarak maksimal 4.000 meter dari Masjidil Haram dan di Madinah berada di wilayah Markaziyah dengan jarak maksimal 650 meter dari Masjid Nabawi, memenuhi persyaratan administrasi, tidak di-black list, dan harganya sesuai plafon.
Di Makkah, pengadaan akomodasi dilakukan dengan sistem kontrak langsung kepada pemilik rumah/penyewa/wakil syar’i atau melalui Maktab Aqari (biro jasa sewa perumahan resmi), serta dilakukan dengan sistem kontrak satu musim dan/atau kontrak jangka panjang. Di Madinah dilakukan melalui Majmu’ah (sejenis EO atau biro jasa) dengan sistem sewa pelayanan. Sedangkan, di Jeddah dilakukan dengan kontrak langsung kepada pemilik hotel dan/atau perusahaan perhotelan dengan sistem sewa pelayanan.
Sebelum dilakukan kontrak, seluruh hotel yang akan dijadikan akomodasi jamaah haji di Makkah, Madinah, maupun Jeddah diverifikasi (kasyfiyah) kelayakannya, diukur (tamtir) luas kamarnya, dihitung (taksir) kapasitasnya, dicek (tasrih) surat izin kelayakan akomodasi, dan kelayakan hotelnya.
Untuk musim haji 2014 lebih dari 100 tempat akomodasi di Makkah sebagian besar hotel setara bintang tiga hingga empat dengan kapasitas hampir 160 ribu jamaah diverifikasi, diperiksa, dinegosiasi, dan dikontrak selama satu musim untuk menjadi tempat akomodasi jamaah haji Indonesia di Makkah. Tempat akomodasi itu dilengkapi fasilitas pelayanan ibadah, pelayanan sektor, kesehatan, dan pelayanan ruang makan yang memadai.
Sebagian dari tempat akomodasi itu berlokasi kurang dari dua kilometer persegi dari Masjidil Haram dan sebagian berlokasi lebih dari 2-4 km dari Masjidil Haram. Untuk hotel yang lokasinya jauh (lebih dari dua km), jamaah dilayani dengan bus salawat untuk menuju ke Masjidil Haram dan kembali ke hotel dengan sistem shuttle.
Seluruh hotel yang dikelola majmuah dan akan menjadi tempat akomodasi jamaah haji di Madinah juga diperiksa kelayakannya serta harus memiliki fasilitas yang dipersyaratkan. Seluruh hotel di Madinah yang dikelola majmuah yang dinyatakan lolos oleh Tim Akomodasi Jamaah Haji Indonesia 2014 semua kualitasnya bagus setara hotel bintang tiga dan empat serta berada di wilayah Markaziyah dan berjarak paling jauh 650 meter dari Masjid Nabawi.
Dengan mekanisme pengadaan seperti itu, Kemenag berkeyakinan bahwa penyediaan akomodasi jamaah haji akan lebih baik. Tapi apa yang terjadi sekarang khususnya di Madinah ternyata di luar dugaan.
Berdasarkan informasi, ada sekitar 13 ribu jamaah haji Indonesia dari 42 kloter menempati hotel di luar wilayah Markaziyah, berjarak lebih satu km dari Masjid Nabawi dan kondisi pemondokannya sangat memprihatinkan. Sembilan dari 10 ( 90 persen) majmuah yang sudah menandatangani kontrak tidak memenuhi komitmennya menyediakan akomodasi sebagaimana disepakati (Republika, 15 dan 17 September 2014).
Masalah ini harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia, perlu investigasi mendalam apa yang sebenarnya terjadi, apa penyebabnya, apakah sekadar masalah teknis atau ada faktor lain sehingga mereka kompak tidak memenuhi komitmennya, atau apakah para majmuah itu sepakat mengalihkan akomodasi bagi rombongan jamaah haji negara lain yang membayar lebih mahal dibanding Indonesia.
Untuk itu, perlu segera langkah antisipasi dan solusi agar jamaah haji tidak menjadi korban. Kemenag dan PPIH harus berusaha keras agar para majmuah memenuhi komitmennya sehingga jamaah haji tetap mendapatkan akomodasi di wilayah Markaziyah dengan kualitas hotel standar. Jika tidak mungkin dan terpaksa ditempatkan di luar Markaziyah, jamaah haji harus ditempatkan di hotel yang bagus serta disiapkan moda transportasi dari hotel ke Masjid Nabawi pulang pergi atau diberi biaya pengganti transportasi.
Untuk akomodasi haji di Makkah yang berjarak di atas 2.000 meter ke Masjidil Haram dan disiapkan shuttle bus juga harus diantisipasi. Misalnya, jika busnya mogok, terjadi macet total terutama menjelang puncak haji, apa yang harus dilakukan, apakah perlu disiapkan bus kecil, rekayasa lalu lintas seperti apa yang akan dilakukan sehingga jamaah haji tetap dapat memperbanyak ibadah di Masjidil Haram.
Untuk musim haji tahun mendatang, perlu dipertimbangkan pengadaan akomodasi di Madinah dilakukan seperti di Makkah, yaitu sewa hotel selama musim haji atau kontrak jangka panjang karena akan lebih memberikan kepastian akomodasi bagi jamaah haji Indonesia.
Rahmat Hidayat
Pemerhati Haji