Kamis 25 Sep 2014 12:00 WIB
Tajuk

Petral dan Mafia Minyak

Red:

Usulan pembubaran Pertamina Energy Trading LTD (Petral) kembali berembus. Adalah Tim Transisi bentukan  presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla yang mengusulkan pembekuan anak perusahaan Pertamina di Singapura  tersebut.

Usulan itu sebenarnya bukan barang baru. Dalam tiga tahun terakhir kajian untuk menutup Petral sudah dua kali muncul. Selain Menneg BUMN Dahlan Iskan yang pernah berwacana untuk menutupnya, Ketua DPR Marzuki Alie juga pernah mengusulkan hal serupa. Namun, rencana penutupan Petral masih sebatas wacana yang di atas kertas, masih dalam pembicaraan.

Petral yang berkantor di Singapura selama ini berfungsi sebagai pengimpor minyak untuk kebutuhan di dalam  negeri. Petral akan menjalankan fungsinya jika ada permintaan dari Pertamina untuk impor BBM atau crude. Setelah itu Petral membuka tender. Jumlah volume impor akan disesuaikan dengan permintaan Pertamina.

Impor BBM dan crude inilah yang menjadi sorotan. Apalagi angka impor BBM kita dari tahun ke tahun terus  meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor minyak mentah maupun BBM tahun lalu atau 2013  meningkat tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2013 nilai impor BBM mencapai 42,14 miliar dolar AS. Padahal, tahun sebelumnya masih di angka 39,51 miliar dolar AS, pada 2011 sebesar 39,27 miliar dolar AS, dan pada 2010  masih  26,55 miliar dolar AS. Dari jumlah impor minyak tersebut Petral masih menjadi pengimpor terbesar  minyak untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Dengan jumlah impor minyak dari tahun ke tahun yang terus meningkat, tak heran bila potensi pendapatan dari  Petral juga terus naik. Masalahnya muncul dugaan adanya para mafia di arena impor minyak ini. Dan hal itu  pernah pula diungkapkan oleh Ketua DPR Marzuki Alie kala mengusulkan Petral ditutup tahun lalu.

Pertanyaannya kemudian apakah Jokowi nantinya benar-benar akan menggunakan wewenangnya untuk menutup Petral  setelah banyak mendapat masukan dari berbagai kalangan? Waktu yang akan membuktikannya karena Joko Widodo-Jusuf  Kalla sendiri baru dilantik menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang.

Namun, terlepas dari semua itu, bukan masalah dibekukan atau dibiarkannya Petral beroperasi. Karena masalah yang  ada sekarang, pengelolaan bahan bakar minyak di Tanah Air tidak efisien. Termasuk di dalamnya adalah dalam  mengimpor minyak karena diduga banyak mafia impor minyak mengeruk keuntungan demi kepentingan pribadi.

Dalam konteks seperti ini maka yang terpenting adalah bagaimana Indonesia dapat mengelola perminyakan dengan efisien. Jika penutupan Petral adalah salah satu cara agar pengelolaan minyak di dalam negeri menjadi lebih  baik maka langkah tersebut menjadi salah satu pilihan terbaik. Namun, jika Petral ditutup sementara mafia impor  minyak masih bebas berkeliaran maka wacana penutupan anak perusahaan Pertamina ini menjadi langkah sia-sia.

Untuk itu menjadi penting bagi pemerintahan Jokowi-JK mengkaji secara matang rencana penutupan Petral. Kajian  yang mendalam dengan menghitung untung-rugi penutupan Petral sangat penting dilakukan agar jangan sampai di  kemudian hari terjadi penyesalan. Apalagi jika akhirnya Petral benar-benar ditutup, namun setelahnya pemerintah  membentuk perusahaan sejenis yang fungsinya sama dengan aktivitas Petral selama ini. Lebih baik dalam tahap  awal, pemerintahan Jokowi-JK kerja keras untuk mengusir mafia minyak dari perusahaan ini sebelum langkah  terakhir menutupnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement