Tanggal 23 September adalah hari al-Yaum al-Wathany yang ke-84 bagi Arab Saudi. Hari al-Yaum al-Wathany adalah hari penyatuan kerajaan berdasarkan ketetapan King Abdul Aziz No 2716, Jumadi al-Ula 1351 H, yang juga menetapkan pergantian nama Kerajaan Hijaz, Nejad, dan lain-lainnya menjadi Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Suudiyah).
Sebagai seorang yang pernah mengecap pendidikan atas beasiswa dari Arab Saudi, tentu saya berterima kasih kepada pemerintahan Arab Saudi. Dan saya yakin, banyak teman yang pernah atau sedang menempuh pendidikan dengan beasiswa sama, ingin juga mengucapkan tahniah (selamat).
Sepanjang sejarah berdirinya Kerajaan Arab Saudi, hubungannya dengan Indonesia tak dapat dipandang sebelah mata. Banyak jasa Pemerintahan Saudi kepada rakyat Indonesia yang bisa kita simpulkan dalam beberapa poin.
Pertama, pendidikan. Sejak zaman prakemerdekaan, umat Islam yang berada dan belajar di Saudi tidak terhitung jumlahnya. Ada beberapa ulama kaliber dunia asal Indonesia yang bisa kita baca kontribusinya, seperti Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Imam Nawawi al-Bantany, Abdurrahman Shidiq al-Banjary, dan Syeikh Mahfudz al-Tarmisi.
Dan tidak dimungkiri keberadaan mereka di sana memberi efek positif bagi nama baik Indonesia di mata dunia. Dan jangan lupa, walaupun mereka di sana, para muridnya kembali ke Indonesia untuk mengajarkan ilmu yang mereka dapatkan dan menggelorakan jihad di bumi tercinta ini.
Ada dua organisasi besar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan KH Hasyim al-Asy’ari dan Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan. Keduanya alumni pendidikan Masjidil Haram.
Sekarang jumlah kaum Muslimin yang belajar di Arab Saudi atau lembaga yang terafiliasi dengannya bisa ribuan. Tahun ini saja, ada 150 orang yang diterima studi strata sarjana di Islamic University di Madinah. Belum yang belajar di Umm al-Qura University, el-Imam Ibn Saud Unversity, Malik Saud University, Petrolium, dan mahad di wilayah Haram Makky. Di Indonesia ada mahad afiliasi ke el-Imam Ibn Saud University, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang konsen dan tekun mengajarkan bahasa Arab dan studi Islam.
Para intelektual yang pernah mengecap pendidikan Saudi, sudah berjuang di berbagai bidang untuk membangun Indonesia. Ada yang jadi ulama dan jumlahnya sudah tak terhitung dengan berbagai mahad yang mereka pimpin; ada yang jadi anggota dewan; ada yang jadi pemimpin sukses seperti Ahmad Heryawan, gubernur Jawa Barat; ada akademisi yang mengabdikan ilmunya di kampus-kampus; dan ada juga yang memilih hidup di wilayah Indonesia terdalam untuk mengajarkan ilmu kepada yang belum mengecapnya.
Kedua, ekonomi. Banyak warga Indonesia yang mengais hidupnya di Saudi. Beberapa masalah seperti kasus kekerasan memang mencuat. Namun, tidak semuanya seperti itu. Kenyataannya, banyak juga yang sukses dan mendapatkan majikan yang baik. Bahkan, tidak jarang yang berdikari dan sukses sebagai pengusaha di sana.
Yang perlu diperbaiki adalah manajemennya. Pemerintah harus mendidik para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirimkan ke sana, keahlian bahasa dan bekerja agar mampu menjalankan tugasnya sebaik-baiknya. Bagi Pemerintahan Arab Saudi, hendaklah mereka bersikap tegas kepada penduduknya yang bertindak kriminal kepada TKI maupun tenaga kerja asing lainnya.
Ketiga, pembangunan. Banyak masjid dan sekolah (mahad) atau universitas yang mendapat bantuan pembangunan dari Saudi. Proposal yang diajukan ke Pemerintah Arab Saudi untuk pembangunan tertentu, biasanya direspons positif. Selama itu untuk kebaikan, biasanya Saudi legawa memberikannya, dan itu pun tak pandang bulu.
Stigma Wahabi
Salah satu stigma yang menempel pada Arab Saudi adalah sebagai negara pendidik teroris, yang kadang kala disebut dengan istilah Wahabi. Saya rasa, istilah ini bias dan liar. Padahal, hakikatnya istilah Wahabi itu merujuk pada upaya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendakwah tauhid di Saudi. Kegiatan yang dilakukannya sama dengan pengemban tauhid di wilayah lain, yaitu membersihkan masyarakat dari khurafat, mitos, perbuatan yang tidak ada contohnya dari Nabi SAW, dan sejenisnya.
Silakan dibaca kurikulum pendidikan Arab Saudi, maka tidak akan pernah didapatkan ajaran kekerasan. Dan jangan lupa, banyak ulama dan kiai tamatan pendidikan Arab Saudi yang menjadi pemimpin di NU dan Muhammadiyah.
Kalaupun ada yang bersikap dan bertindak keras dan kasar, itu hanyalah oknum. Jangan digeneralisasi. Ajaran dalam pendidikan Arab Saudi berdasarkan kepada Islam yang sebenarnya, sesuai Alquran dan sunah. Tidak ada ajaran untuk nepotisme kepada mazhab tertentu dan pendapat tertentu.
Denis Arifandi Pakih Sati
Alumnus Fakultas Syariah LIPIA Jakarta, Cabang El-Imam Ibn Saud University, Arab Saudi