Majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis kepada Anas Urbaningrum delapan tahun penjara dan ditambah denda Rp 300 juta. Hakim juga meminta Anas mengembalikan uang negara Rp 57,5 miliar dan 5,7 juta dolar AS.
Yang menarik, Anas mengajak majelis hakim dan jaksa penuntut umum untuk sama-sama melakukan mubahalah (sumpah kutukan). Mubahalah semakin membuktikan kepiawaian Anas dalam membuat diksi.
Terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus Hambalang, Anas membuat pernyataan yang diksinya begitu terkenal: "Satu rupiah pun Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas." Sebelumnya, saat menyampaikan pernyataan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Anas menyatakan, "Ini baru halaman pertama."
Begitu juga saat menyampaikan eksepsi, "Saya hanya mau diadili, tidak mau dihakimi apalagi dijaksai." Belum lagi soal "kado tahun baru buat SBY dan Abraham Samad" saat Anas ditahan KPK.
Pernyataan soal mubahalah tentu sangat mengagetkan. Selain mubahalah tidak dikenal dalam hukum positif kita, juga belum pernah ada satu pun terdakwa yang dijatuhi vonis oleh majelis hakim lalu meminta kepada yang terlibat dalam persidangan untuk mubahalah. Publik juga dibikin penasaran untuk mengetahui tentang mubahalah.
Tafsir mubahalah
Mubahalah dimengerti sebagai saling melaknat atau mendoakan agar laknat Allah SWT dijatuhkan atas orang yang zalim atau berbohong di antara yang berselisih. Syariat mubahalah untuk membuktikan kebenaran dan mematahkan kebatilan bagi mereka yang keras kepala dan tetap bertahan pada kebatilan meskipun sudah jelas kebenaran dan argumennya.
Dalil naqli landasan mubahalah adalah QS Ali Imran (3): 61. "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), katakanlah (kepadanya), 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan meminta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.'"
Asbabunnuzul (sebab turunnya) ayat ini ketika datang utusan Nasrani dari Najran bersikeras mengatakan kepada Muhammad SAW bahwa Isa adalah anak Allah. Padahal, Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa Isa AS itu hamba Allah SWT dan utusan-Nya. Maka, Allah SWT memerintahkan Muhammad SAW agar menantang bermubahalah.
Karena mengetahui Muhammad SAW dalam kebenaran dan mereka dalam kebatilan, mereka tidak berani melakukannya. Akhirnya, mereka mengajak berdamai dan membayar jizyah (pajak yang dibayarkan oleh non-Muslim) kepada Muhammad SAW.
Lontaran mubahalah Anas kontak menuai banyak komentar. Kebanyakan, pertama, berangkat dari asbabunnuzul, terkait "perdebatan" Rasul dengan orang Nasrani mengenai Isa, muncul komentar mubahalah hanya boleh dilakukan berkaitan dengan akidah.
Pandangan ini, misalnya, datang dari Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr Asrorun Ni’am yang menyebut mubahalah itu untuk kepentingan agama yang fundamental, menyatakan kebenaran, bukan urusan duniawi dan hawa nafsu serta niatnya tulus, bukan untuk menggapai kemenangan semata. Dengan adanya keyakinan akan kebenaran, muncul komitmen menerima laknat Allah jika dusta. Mubahalah dasarnya adalah norma keagamaan (detiknews, 24/9).
Kedua, bila merujuk pada "siapa" yang terlibat perdebatan, muncul pandangan mubahalah tidak berlaku antara sesama Muslim. Prof Dr Yunahar Ilyas menyebut, mubahalah itu urusan keimanan dan tak bisa diukur dari luar. Mubahalah konteksnya masalah iman, bukan di pengadilan. Kalau sesama Islam, tidak boleh ada mubahalah karena keimanannya sama (ROL, 24/9).
Terkait bagian akhir ayat, "Dan meminta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta," maka pesan mendasar ayat ini justru pada tidak bolehnya siapa pun berdusta, bohong, atau tidak jujur. Mubahalah dilakukan karena diyakini ada dusta. Sementara, dusta (kadzib) di sini bersifat umum (‘am).
Bahwa dalam konteks sejarah mubahalah terkait keagamaan, bukan berarti tidak boleh dilakukan pada perkara di luar keagamaan. Dusta atau bohong itu bersifat generik, bisa dusta dalam soal agama, politik, hukum, ataupun lainnya.
Menurut saya, pesan penting mubahalah justru bukan pada apa yang "diperdebatkan" (soal Isa) atau "siapa yang berdebat" (Muslim dan Nasrani), tapi pada tidak bolehnya siapa pun berdusta, berbohong, atau tidak jujur (tidak adil).
Perlawanan simbolis
Kalau titik tekan mubahalah pada ketakjujuran, meskipun dalam hukum positif tidak dikenal mubahalah, apa yang disampaikan Anas justru kontekstual. Anas sadar, ajakan mubahalah tak mungkin mengubah vonisnya. Namun, keberaniannya untuk mubahalah patut dihargai.
Mubahalah Anas yang notabene sekarang sudah menyandang gelar koruptor harus dipahami sebagai "pesan moral" bagi publik dan penegak hukum untuk tidak boleh dusta dalam menegakkan hukum. Mubahalah juga harus dipahami bentuk perlawanan simbolis terhadap kekuasaan lalim yang mengintervensi penegakan hukum.
Sulit untuk tidak mengatakan kasus Anas bebas dari intervensi kekuasaan. Rentetan peristiwa politik menjelang penetapan Anas sebagai tersangka cukup menjadi bukti intervensi politik. Begitu juga selama proses persidangan hingga majelis hakim menjatuhkan vonis.
Persidangan yang berlangsung hingga dini hari juga semakin menegaskan intervensi dan rekayasa. Tampak sekali kasus Anas dipaksakan agar selesai sebelum 20 Oktober 2014 saat SBY mengakhiri masa jabatannya.
Sesaat setelah jatuh vonis, Anas menyatakan, dirinya sangat total, konsentrasi, dan mengikuti persidangan dengan patuh dan santun, dengan harapan JPU akan memberikan tuntutan secara adil, objektif, dan mendasarkan pada fakta persidangan. Tapi, ternyata tuntutan JPU sangat kasar, irasional, dan amoral.
Lalu, majelis hakim--sebagai pintu terakhir mendamba keadilan hukum--yang diharapkan bisa memutus perkara secara adil dan objektif, vonisnya juga tak kalah sadis dengan tuntutan JPU.
Karena lembaga penegak hukum dinilai tak lagi berpijak pada kebenaran, menjunjung tinggi keadilan, mubahalah sebagai pilihan dan sikap terakhir yang mesti diambil. Sikap ini sama persis ketika bantahan apa pun dari Anas terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus Hambalang tak juga mampu meyakinkan publik maka Anas memilih "sumpah Monas".
Dan, terbukti, hakim memutuskan dakwaan primer tidak terbukti, Anas tak terlibat di Hambalang yang berarti gugur sumpahnya untuk digantung di Monas. Seperti halnya "sumpah Monas", mubahalah ini tak lebih sebagai bentuk perlawanan simbolis sseorang warga negara yang tanpa kuasa apa pun berhadapan dengan kekuasaan lalim nan hegemonik. n
Ma’mun Murod Al-Barbasy
Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta