Cuaca ekstrem yang melanda sejumlah wilayah di Tanah Air beberapa pekan terakhir menyebabkan kenaikan suhu permukaan. Di wilayah Jakarta, temperatur udara bahkan sempat menyentuh 37 derajat Celsius.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi, musim kemarau masih akan berlangsung hingga sebulan ke depan. Musim penghujan diperkirakan baru akan terjadi pada November mendatang.
Namun, musim kemarau dengan panas terik yang terasa memanggang kulit tubuh ini telah menimbulkan kekeringan di sejumlah wilayah. Di beberapa kota di Jawa Tengah, musim kering ini menyebabkan banyak masjid yang krisis air bersih. Jamaah yang hendak menunaikan shalat pun kesulitan untuk berwudhu.
Kekeringan ini jelas dirasakan dampaknya pada pasokan air bersih. Di Bogor, Jawa Barat, Bendung Katulampa yang menjadi tempat pengaturan air yang berasal dari cabang-cabang sungai dan anak sungai di bagian hulu wilayah tersebut bahkan debitnya menurun. Hal yang sama juga dialami Sungai Cisadane yang membelah Kota Tangerang, Banten.
Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sungai Cipamingis yang selama ini dimanfaatkan warga sebagai sumber air alternatif mulai mengering. Air yang tersisa pun tidak lagi layak untuk dikonsumsi. Jangan ditanyakan bagaimana kondisi sumur milik warga di Desa Ridogali dan Ridomanah di Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Sebagian sumur warga di sana sudah tak lagi bisa mengeluarkan air untuk kebutuhan sehari-hari.
Parahnya, krisis air bersih ini tak hanya dialami daerah-daerah penyangga Ibu Kota. Di Jakarta sendiri, sejumlah warga, terutama yang tinggal di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara, mulai merasakan sulitnya mendapat air bersih.
Waduk Ria Rio yang berada di Jakarta Utara, debit airnya mulai berkurang sejak awal Agustus lalu. Instalasi pengolahan air limbah di daerah Dukuh Atas juga menunjukkan penurunan permukaan air. Penyusutan debit air juga terjadi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Padahal, wilayah ini menjadi daerah resapan air. Salah satu penyebabnya adalah karena resapan air di hulu yang rendah lantaran musim kemarau.
Mulai terjadinya krisis air bersih di Jakarta ini diakui penyedia layanan air bersih untuk wilayah barat DKI Jakarta, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). Palyja bahkan menemukan pada musim kemarau ini, selain kuantitas air baku yang memang menurun, kualitasnya juga memburuk akibat buangan rumah tangga.
Selama musim kemarau kualitas air memburuk karena jumlahnya berkurang. Sedangkan, jumlah buangan air limbah yang mengandung bahan deterjen, misalnya, tetap sama. Yang terjadi adalah kekentalan air meningkat.
Sebagai ibu kota negara dan pemerintahan, jika krisis air bersih terjadi di Jakarta, itu merupakan pertanda buruknya tata kelola lingkungan dan pengairan. Musim kemarau memang tak bisa dicegah, kekeringan memang tak bisa dihindarkan. Namun, upaya pencegahan sewaktu musim penghujan haruslah dilakukan.
Pemprov DKI Jakarta semestinya menggarap serius kerja sama dengan daerah penyangga yang merupakan hulunya sumber air, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Poin kerja sama dititikberatkan pada pembuatan bendungan maupun setu atau embung yang bisa menjadi tempat penyimpan air. Ketika masuk musim kemarau, air simpanan itu bisa tetap disalurkan ke wilayah lain yang membutuhkan, seperti Jakarta yang mengalami krisis air bersih.
Tak kalah pentingnya adalah mencegah menjamurnya penggerusan terhadap lahan terbuka hijau. Langkah ini bisa dilakukan melalui moratorium pembangunan kompleks perumahan atau proyek properti yang merusak lingkungan. Menciutnya lahan terbuka hijau sudah pasti mengurangi daerah resapan air dan air tanah. Tak ada cara lain jika Jakarta tak ingin mengalami krisis air bersih, perbaikan tata kelola lingkungan harus serius digarap.