Sebanyak 560 anggota DPR RI kemarin dilantik. Raut wajah kebahagiaan terpencar dari para politikus tersebut. Kebahagiaan juga menyelimuti keluarga dari anggota dewan terhormat periode 2015-2019 yang hadir mengikuti acara sakral itu. Di antara mereka banyak yang meluapkan kegembiraannya dengan berfoto bersama.
Lima tahun lalu, suasana serupa juga terjadi di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Kebahagiaan memencar dari para anggota dewan saat dilantik menjadi anggota DPR 2009-2014. Senyum tak henti tersungging dari mulut mereka. Bedanya dengan pelantikan, kemarin, sebagian anggota dewan lama memang kembali lolos. Namun sebagian dari mereka gigit jari karena gagal menjadi anggota dewan. Dan, dari mereka yang gagal kembali duduk di kursi dewan adalah mereka yang terjerat korupsi dan kini mendekam di penjara.
Foto:Rosa Panggabean/ANTARAFOTO
Ketua DPR periode 2014-2019 Setya Novanto (kanan) melambaikan tangan saat Wakil Ketua DPR periode 2014-2014 Fadli Zon (kiri) berpelukan dengan koleganya usai sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis dini hari (2/10).
Meski mendapat julukan sebagai anggota dewan terhomat, kita menyadari bahwa anggota dewan selalu menjadi sorotan. Dalam lima tahun terakhir sorotan tajam terhadap anggota legislatif tak henti-hentinya menghiasi media massa dan media sosial. Keluhan kinerja yang tidak maksimal karena banyak bolos rapat hingga menjadi tersangka kasus korupsi menempel pada lembaga dewan sehingga mampu menutup sisi positif yang telah mereka kerjakan.
Riset tipologi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap anggota legislatif, ditemukan bahwa periode 2009-2014 paling banyak terindikasi melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebesar 42,71 persen.
Dari hasil analisis itu ditemukan juga bahwa anggota dewan paling banyak, sebanyak 69,7 persen, terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan, ketua komisi yang terindikasi melakukan tipikor sebanyak 10,4 persen. Mayoritas tipikor yang dilakukan anggota dewan melibatkan penyedia jasa keuangan, yaitu perbankan melalui fasilitas tunai, rekening rupiah, dan polis asuransi.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut kinerja DPR RI periode 2009-2014 dinilai sangat buruk. Dari 519 anggotanya, 83,3 persen dinilai buruk, sedangkan yang dinilai berkinerja baik hanya 6,4 persen, dan 9,8 persen anggota DPR memiliki kinerja cukup.
Hasil Survei Nasional Pol-Tracking Institute juga menyebut sebagian besar masyarakat tidak puas dengan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat. Hanya 12,64 persen saja yang mengatakan kinerja DPR baik.
Belum lagi survei Transparency International Indonesia (TII) menyebut rakyat Indonesia berpandangan bahwa partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga yang terkorup. Sedangkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai kepolisian, dewan Perwakilan Rakyat, dan pengadilan secara berurutan menjadi lembaga negara terkorup di Indonesia.
Tentu saja data dan fakta tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi anggota DPR yang baru dilantik. Mereka harus bekerja keras untuk memperbaiki diri dan tidak mengulangi hal-hal buruk yang dilakukan anggota dewan lima tahun terakhir.
Penangkapan yang dilakukan KPK dan Kepolisian terhadap anggota dewan yang korup seharusnya memberi efek jera bagi anggota dewan yang baru. Sebagai wakil rakyat, sudah semestinya anggota DPR melakukakan berbagai langkah guna memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sebagai lembaga legislatif yang menjadi penyeimbang eksekutif, rakyat sebenarnya banyak berharap pada DPR. Karena lembaga DPR yang kredibel akan membuat perjalanan pemerintah menjadi lebih efisien. Karena itu, jangan lagi kecewakan rakyat seperti sebelum-sebelumnya. Sudah cukup lama rakyat kecewa dengan wakilnya di Senayan. Dan kini, saatnya kembalikan kepercayaan rakyat dengan bekerja secara profesional dan tak tidak korup dengan melaksanakan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran.