Hari Raya Idul Adha merupakan hari yang diagungkan oleh seluruh umat Islam di dunia. Ada dua peristiwa yang berkaitan dengan Idul Adha, yaitu pelaksanaan ibadah kurban dan ibadah haji. Oleh karena itu, Idul Adha disebut juga dengan hari raya haji.
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi segenap umat Islam yang telah memenuhi syarat yaitu mampu (Qistithaah badaniahS Ali Imran [3]: 97), baik mampu harta (istithaah maaliah), mampu akal (istithaah aqliah) dan mampu badan () dan cukup sekali seumur hidup. Bagi umat Islam yang sudah memenuhi syarat, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menyegerakan berhaji. Demikian pula Allah SWT perintahkan kita umat Islam melaksanakan ibadah kurban (QS Al-Kautsar [108]: 1-3). Bahkan, Rasulullah SAW mengancam orang yang tidak mau berkuban padahal dia mempunyai kelapangan rizki, dengan sabdanya: "Barang siapa yang mempunyai kelapangan rizki dan dia tidak berkurban, hendaklah ia tidak mendekat ke tempat shalatku."
Salah satu rukun haji yang mutlak harus dilaksanakan oleh setiap jamaah haji adalah wukuf di Arafah. Sehingga, bagi mereka yang kurang sehat pun diwajibkan hadir melaksanakan ibadah wukuf melalui bantuan tandu, kendaraan ambulans, sehingga dikenal dengan istilah "safari wukuf".
Secara bahasa, wukuf bermakna berhenti, diam tanpa bergerak. Secara istilah, wukuf adalah berkumpulnya seluruh jemaah haji dari berbagai penjuru dunia dengan berbagai latar belakang budaya, warna kulit, negara, bahasa, dan sosial politik di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah. Hari itu merupakan puncak ibadah haji, sehingga Rasulullah SAW bersabda, "Al haju Arafah," haji adalah wukuf di Arafah. (HR Bukhari-Muslim).
Wukuf di Arafah merupakan momen yang sangat penting bagi seluruh jamaah haji yang datang dari berbagai belahan dunia. Mereka berpakaian yang sama, pakaian ihram—warna putih, tidak berjahit (untuk laki-laki), pakaian yang kelak akan dipakai ketika menghadap Allah 'Azza wa Jalla, pakaian yang menandakan kesamaan dan kesejajaran (egalitarianisme) di antara umat Islam, sehingga tidak ada lagi sekat-sekat sosial di antara mereka, semuanya sama. Mereka hadir dengan tujuan yang sama, mendekatkan diri (taqarrub/) serta memohon ampunan Allah.
Wukuf di Arafah adalah momen sangat tepat untuk untuk saling mengenal dan silaturahim di antara jamaah haji sesuai dengan makna "arafah-taarruf" (saling mengenal). Dengan demikian, wukuf di Arafah merupakan muktamar akbar bagi umat Islam dari seluruh dunia dan menjadi momentum memperkuat relasi sosial umat Islam. Wukuf di Arafah juga momentum bagi para jamaah haji untuk melakukan ihtisab, merenung kembali akan eksistensi mereka sebagai hamba Allah SWT, mereka seakan melakukan gladi resik tentang apa yang akan terjadi kelak ketika dibangkitkan di hari akhir.
Kemudian, dari sekian rangkaian ritual ibadah haji, kurban adalah simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang dialami Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, yang dilaksanakannya karena semata-mata taat kepada Allah. Peristiwa ini merupakan suri teladan dari seorang ayah dan anak yang taat kepada Allah. Peristiwa tersebut diabadikan oleh Allah dalam Alquran (QS Ash-Shaffat [37] :102 -108).
Bagi Ibrahim, Ismail bukan sekadar anak, melainkan juga idaman hati, pelipur lara dan teman perjuangan melawan penindasan Namrudz dalam menegakkan kalimat tauhid. Inilah ujian sebenarnya (al-bala al mubin) yang disebut jihad akbar, yaitu jihad melawan hawa nafsu yang sering menguasai manusia serta menjauhkan mereka dari Tuhannya. Karena ketabahan dan keikhlasannya, Ibrahim berhasil melewati ujian berat tersebut sehingga Allah menggantinya dengan seekor binatang sembelihan, yang kemudian dijadikan simbol untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana terkandung dalam makna "qurban" itu sendiri.
Hikmah yang terkandung dalam dialog antara Nabi Ibrahim dan Ismail memberikan pelajaran kepada kita bagaimana membangun semangat dialogis antara orang tua dan anak serta bagaimana pentingnya memanamkan ketaatan kepada Allah dan orang tua sejak usia dini. Dengan bekal taat tersebut, Ismail siap membantu ayahnya melaksanakan perintah Allah SWT. Ibadah kurban juga mengajarkan kita semangat berbuat baik dan berbagi sebagaimana disiratkan Al-qur'an: … dan makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah orang-orang melarat dan fakir (QS 22: 28).
Dengan demikian, esensi yang terkandung dalam ibadah kurban memberikan pesan moral agar setiap pribadi memiliki kesiapan mental untuk senantiasa menaati perintah Allah SWT. Dalam konteks demikian, maka ibadah kurban akan memperkuat kesalehan spiritual kita (hablun min Allah).
Ibadah kurban juga memupuk kita memiliki empati dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Dengan berempati dan bertanggung jawab, kita merasakan denyut penderitaan orang lain, dan sekaligus berusaha untuk mengatasinya. Dengan demikian, maka ibadah kurban akan dapat meningkatkan kesalehan sosial kita.
Rasulullah SAW adalah contoh teladan bagi kita, bagaimana jiwanya senantiasa bergetar setiap kali melihat penderitaan umatnya, dan beliau selalu berusaha membantunya. Demikian pula yang dicontohkan oleh Sayyidina Umar, yang setiap saat siap menderita karena ingin merasakan penderitaan umatnya, dan sekaligus beliau siap berdiri di garda terdepan membantu meringankan dan mengatasi beban penderitaan umatnya.
Inilah sikap berkorban dari para pemimpin yang sangat peka dan bertanggung jawab terhadap penderitaan rakyatnya. Sikap seperti ini pula yang dibutuhkan pada saat ini, yakni pemimpin dengan keteladanan, pemimpin yang bertanggung jawab dan siap berkorban untuk rakyatnya, serta siap menderita dan menunda kepentingan pribadi, keluarga, serta golongannya, demi kepentingan masyarakat luas, karena sadar bahwa dirinya adalah pelayan yang dipilih oleh tuannya—rakyat. Semoga Hari Raya Idul Adha ini menjadi momentum bagi kita dalam membangun dan memperkuat relasi sosial, menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Rahmat Hidayat
Bekerja di Kemenpera dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah-Jakata.