"Yes, our democracy is noisy. It has to be. Otherwise, it would not be a real democracy. Despite the noise, decisions are made, problems are solved, and things do go forward."
Yang masih ingat, ini adalah kutipan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 September 2012. Presiden ketika itu berada di New York, Amerika Serikat. Ia datang ke Bursa Efek New York untuk membuka The Indonesia Investment Day.
Presiden berpidato di depan pelaku ekonomi AS. Ia menyebut mereka sebagai leaders of business communities dan captains of industry. Presiden berupaya mengajak investor AS untuk lebih gencar lagi menanamkan modalnya ke Indonesia. Meski dengan kondisi politik yang berisik (noisy).
Dua tahun setelah pidato itu, kita masih melihat situasi yang sama. Tidak berubah. Elite politik bangsa ini masih mesra dengan praktik politik berisiknya.
Setelah skenario drama dalam pemilihan ketua DPR awal bulan ini, masyarakat lalu disuguhi isu-isu kembalinya wewenang MPR mengangkat presiden. Sampai ke skenario saling silang pemilihan pimpinan MPR.
Kemudian, ada isu dominasi Koalisi Merah Putih di DPR dan DPRD bisa dimanfaatkan untuk menjegal kebijakan pemerintahan Jokowi-JK. Terus begitu menjelang pelantikan presiden terpilih Joko Widodo dan wakil presiden terpilih Jusuf Kalla.
Dengan kebisingan politik tingkat tinggi seperti ini, apakah Indonesia masih menarik bagi investor? Mari kita lihat selama dua pekan terakhir. Pekan lalu dibuka oleh ribut-ribut pemilihan ketua DPR. Akhir pekan ditutup oleh Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang jatuh melewati level 5.000 basis poin. Aksi jual investor asing menekan indeks hingga terjerembap 1,26 persen (62,9 basis poin) ditutup di 4.933.
Sementara, nilai tukar rupiah trennya terus melemah mendekati pelantikan Jokowi-JK. Padahal, awal September lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menguat hingga Rp 11.760-an. Namun, mendekati pertengahan September, menyusul isu BBM dan kabinet, nilai tukar rupiah bergerak memihak dolar AS. Sampai akhirnya kembali menembus level Rp 12.000-an sejak 18 September (kurs jual) dan pada 29 September (kurs beli).
Bagi pelaku ekonomi, ini adalah sinyal-sinyal yang mereka perhatikan dengan saksama. Idealnya sebuah pemerintahan baru membawa hawa optimisme baru. Namun sayangnya, sejauh ini yang kita lihat belum demikian.
Bank Dunia pada Senin (6/10) sudah memberi peringatan. Menurut lembaga bentukan Washington DC itu, investasi di Indonesia sukar diprediksi karena diselubungi ketegangan politik. Bank Dunia menekankan, investor jangka panjang membutuhkan kepastian iklim investasi, stabilitas politik dan ekonomi, serta kejelasan peraturan.
Secara terbuka, Bank Dunia menuding kondisi DPR yang memanas justru kontraproduktif dengan harapan investor. Pemilik modal tak bisa membaca arah kebijakan pemerintah dan DPR. Yang terjadi adalah sentimen negatif berkembang biak di pasar modal.
Ini sebabnya Menteri Keuangan Chatib Basri dan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo pada hari yang sama bertemu dan mencoba menenangkan pasar keuangan. Keduanya menegaskan kondisi ekonomi Indonesia triwulan III ini solid meski ada dinamika politik.
Dari kajian Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan, Menkeu mengakui sentimen pasar terpengaruh oleh rencana kenaikan harga BBM dan dinamika politik UU Pilkada. Sementara, Gubernur BI mengatakan, selain tekanan dari sisi domestik, tekanan eksternal dari rencana kenaikan suku bunga di AS juga berpengaruh besar. Indonesia, kata dia, harus segera memperbaiki struktur ekonominya.
Harapan kita tentu kondisi politik berisik ini segera reda. Kedua kubu, Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, secepatnya bisa bekerja sama membangun Indonesia. Kedua kutub politik ini harus diingatkan. Kalau mereka terpecah belah, yang tertawa senang adalah bangsa lain yang tak ingin Indonesia besar.