Kacaunya pemilihan kepala Polri menyisakan satu pertanyaan penting. Apakah pemerintahan Presiden Joko Widodo yang baru berjalan tiga bulan ini menyadari pentingnya menjaga stabilitas politik?
Terlalu banyak drama di pemilihan Kapolri kemarin. Pertama, jabatan Kapolri Jenderal Sutarman sebenarnya baru berakhir Oktober 2015. Sutarman adalah kapolri yang diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013. Namun, pemerintah mempercepat pensiun Sutarman dengan membuka pencalonan kapolri baru sejak Desember 2014, dan itu tanpa konsultasi dengan Sutarman.
Kedua, siapa sebenarnya pengusul Budi Gunawan? Apakah itu Presiden Jokowi? Atau ada usulan partai pendukung Jokowi? Atau usulan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri? Masyarakat tahu sewaktu nama Budi dicalonkan, rekam jejaknya memperlihatkan polisi berkumis itu pernah menjadi ajudan Presiden Megawati.
Ketiga, seleksi kapolri kali ini tanpa masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Traksaksi Keuangan (PPATK). Padahal, semasa seleksi menteri Kabinet Kerja kemarin, Presiden meminta rekomendasi dua instansi penting ini.
Ada argumentasi bahwa kapolri adalah hak prerogatif presiden. Namun, kita tahu, jabatan kapolri itu amat penting. Tokoh yang duduk di kursi panas kapolri haruslah sosok yang taat hukum, bersih, berwibawa, profesional. Situasi politik memanas menyusul KPK menolak pencalonan Budi. Menurut KPK, Budi ternyata punya kasus. Kasus ini pula yang membuat nama Budi dicoret dari daftar calon menteri kabinet.
KPK menjadikan Budi sebagai tersangka kasus dugaan suap beberapa jam sebelum ia harusnya dilantik. Di sisi lain, dari kubu DPR, proses fit and proper test Budi berjalan mulus. Mayoritas fraksi di DPR setuju, maka Paripurna DPR pun menetapkan Budi sebagai kapolri.
Presiden akhirnya mengambil jalan tengah. Pelantikan Budi ditunda sampai ada kejelasan status hukumnya. KPK dipersilakan melanjutkan proses hukum kasus Budi, sedangkan kursi kapolri dibiarkan kosong. Presiden memutuskan Wakil Kapolri Komjen Badrodin Haiti untuk jadi pelaksana tugas kapolri.
Untuk sementara, drama pemilihan kapolri berakhir antiklimaks, meski masih ada potensi memuncak lagi. Publik kini menunggu penuntasan kasusnya di KPK. Di luar itu, pemerintahan Jokowi harus mengakui gonjang-ganjing politik ini bukan yang pertama kali. Publik bisa menilai bagaimana rentannya stabilitas politik era Jokowi ini.
Pada Oktober 2014 ketika DPR baru dilantik, para politisi sudah pecah. Muncul kubu Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih menyusul ketidakpuasan bagi-bagi alat kelengkapan dewan. Anggota dewan pun melupakan tugas mereka di masa sidang pertama, tak ada kerja legislasi.
Sampai Januari 2015 belum ada tanda-tanda situasi politik di DPR mencair. Para politikus masih sibuk dengan agenda masing-masing. Meninggalkan fungsi pengawasan, fungsi legislasi, dan fungsi anggaran.
Pada November-Desember 2014, gejolak ekonomi muncul. Nilai tukar rupiah terpuruk hingga Rp 12.714 pada 15 Desember. Inilah posisi rupiah terlemah selama pemerintahan SBY dan Jokowi.
Menkeu Bambang Brodjonegoro mengklaim pelemahan itu lebih didominasi faktor eksternal, tapi investor menilai faktor internal seperti konflik di DPR juga memengaruhi.
Semasa kampanye pemilihan presiden maupun pascakeputusan menangnya duet Jokowi-Jusuf Kalla, publik bisa memerhatikan satu hal. Memang tidak ada visi atau janji tentang menjaga stabilitas politik dan ekonomi secara spesifik dari pemerintahan kali ini. Berbeda dengan pemerintahan SBY yang mengedepankan stabilitas politik untuk menjaga roda ekonomi.
Mungkin pemerintahan kali ini menganggap stabilitas politik itu sesuatu yang akan tercapai dengan sendirinya. Apalagi melihat fenomena dukungan publik kepada duet Jokowi-JK. Namun di lapangan, hal yang terjadi berbeda.
Kita berharap, sudah waktunya pemerintah menyelesaikan dengan serius instabilitas politik macam ini. Bukan saja investor yang dag dig dug, tapi energi publik terbuang percuma dengan menyaksikan drama macam ini. Indonesia sudah cukup dengan drama. Negara ini butuh konsentrasi pemerintah dan rakyatnya untuk membangun, membangun, dan membangun.