Emosi historis 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955-2015 yang melahirkan Dasasila Bandung merupakan investasi sosial politik Presiden Sukarno yang paling bersejarah pascakemerdekaan Indonesia. Sayangnya, pencapaian visioner Presiden Sukarno bersama PM Alisastroamidjojo dan Menlu Sunario tidak sungguh dirawat baik sebagai kebijakan strategis politik luar negeri selama Orde Baru hingga Reformasi sehingga dapat menghasilkan manfaat pengaruh ekonomi dan politik yang cukup bagi Indonesia modern, kecuali kenangan historis. Kita tertinggal jauh dari India dan Cina yang memiliki pengaruh kuat di Afrika.
Para deklarator KAA telah mengampanyekan pandangan orang-orang Asia dan Afrika, "Hanya kita sendirilah yang dapat menentukan nasib." Tidak akan ada belas kasihan dari para penjajah modern sekalipun. Spirit nasionalisme inilah yang dapat membangkitkan kembali emosi KAA, kini dan selanjutnya.
Sejarah yang mengkristal dalam pandangan nation spirit dengan latar sosiologis beragam sesungguhnya tetap menjadi modalitas yang memacu semangat solidaritas. Spirit Dasasila Bandung sebagai penyihir lahirnya negara-negara merdeka di Asia dan Afrika semestinya tetap menjadi referensi magnetum untuk menghindari seremoni simbolis ini.
Sekalipun demikian, peringatan 60 tahun KAA tetap sebagai suatu kegiatan: seremonialisme karena merupakan forum untuk sekadar bertemu, dan simbolisme karena hanya merupakan arisan antarpemimpin negara untuk mengenang warisan para founding fathers Asia-Afrika.
Semangat senasib tempo dulu rupanya telah tereduksi oleh kepentingan pragmatisme yang oleh Huntington (2003) terfokus dalam empat tingkatan asosiasi antara negara dari yang kurang sampai yang paling integrated: wilayah perdagangan bebas, kepentingan bersama, pasar bersama, dan kesatuan ekonomi. Menurut penulis, pendapat Huntington ini diperkuat empat fakta kepentingan berikut.
Pertama, pembangunan negara pascakemerdekaan. Berbagai kemiskinan dan keterbelakangan merupakan agenda utama pembangunan setiap negara baru. Pembangunan dasar dalam bidang pertanian, pendidikan, dan ekonomi sudah cukup berhasil, sayangnya masalah keamanan masih menjadi isu terkini.
Kedua, kultur emosional modern. Pascakemerdekaan, pandangan konvensional atas kerja sama yang saling menguntungkan telah bergeser menjadi kerja sama kemitraan. Namun, kita sering diperhadapkan oleh benturan kepentingan hegemonif yang sangat kontras dengan semangat KAA 60 tahun lalu.
Faktanya, negara serumpun sekalipun, dewasa ini bahkan sudah saling menghantam, menyerang, dan menguasai. Selain faktor ekonomi, salah kelola atas keragaman secara suku, agama, ras, dan keturunan telah menjadi latar berbagai peristiwa nasional dalam sebuah negara eks peserta KAA sekalipun. Hal ini memperkuat teori hegemonif: penjajahan modern tetap akan dilakukan negara-negara maju atas bangsa tertinggal-berkembang melalui berbagai pendekatan bantuan, seperti economic development assistances, technical assistances, human development assistances, soft-loan assistances, dan beragam asistensi lainnya.
Negara di benua Asia dan Afrika telah terhipnotis --di luar tujuan kemanusiaan-- dengan kedermawan, tetapi lehernya sesungguhnya tetap di/tercekik. Maka logikanya, kita tidak akan pernah menjadi negara modern dalam pengertian sesungguhnya. Karena apa yang kita anggap modern saat ini sudah menjadi sampah di negara modern yang sebenarnya. Dalam batasan lain, kultur emosional modern lebih pada kerja sama saling aman antara negara-negara yang berbatasan langsung. Saling ketergantungan ekonomi terbagun secara efektif.
Ketiga, pembangunan nasional. Ledakan pembangunan nasional sebagai jargon di masing-masing anggota Asia-Afrika sekaligus menegaskan kian pudarnya semangat solidaritas pembangunan Asia-Afrika, yang bertolak belakang dengan komitmen 2005, yaitu Strategi Kemitraan. Orientasi kerja sama ekonomi secara bilateral ataupun multilateral lebih diletakkan pada untung-rugi mitranya.
Banyak negara di kawasan Asia-Afrika, meski sudah merdeka, tetap masih bergolak. Perang saudara, ketimpangan pembangunan wilayah karena kepentingan sosio-politik, upaya sistematis untuk memarginalkan suku bangsa tertentu (kalau tidak dibilang genosida), korupsi yang mengakar dengan basis kronisme dan nepotisme, pemandulan demokrasi melalui ketamakan berkuasa, buruknya pembangunan SDM dan HAM; merupakan bukti sebagai trademark rupa Asia-Afrika saat ini.
Keempat, penguatan dignitas. Ego kenegaraan, ego regionalitas, dan ego kontinental merupakan hal-hal yang mewarnai keberlangsungan kooperasi dan asosiasi Asia-Afrika dewasa ini. Kita diperhadapkan pada fakta di setiap negara anggota. Kondisi dilematis inilah yang secara kasat mata melahirkan elegansi sekaligus dignity suatu negara. Dengan demikian, yang terjadi adalah usaha keras setiap negara di kawasan ini untuk memperkuat diri di berbagai segi perikehidupan atas basis ketergantungan.
Komitmen New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) yang dideklarasikan pada tahun Emas KAA 2005 di Bandung dihadapkan pada masalah serius kawasan saat ini, seperti ledakan fertilitas, arus migrasi, oligarki politik kekuasaan, sektarianisme, dan gelombang terorisme regional maupun internasional.
Kemajuan teknologi yang luar biasa meledak saat ini berpengaruh signifikan terhadap kerja sama antarnegara dalam berbagai margin kepentingan asosiasif ketimbang seremoni penanaman pohon perdamaian kawasan.
Diperlukan kerja sama komprehensif untuk mengentaskan isu tradisional, seperti kebodohan dan keterbelakangan menuju negara modern. Harus ada spirit of good will untuk melakukannya, tak sekadar toz dari para pemimpin Asia-Afrika modern. Dapatkah Indonesia mengambil kembali momentum itu? Bisa, jika semangat revolusi mental menjiwai laku hidup anak bangsa RI.
Servulus Bobo Riti
Alumni Pertukaran Pemuda ASEAN-Jepang 1993, PNS pada BNP2TKI