Diplomasi Indonesia di Badan Kesehatan Dunia (WHO) berhasil melewati ujian berat perdebatan penggunaan vaksin polio. Dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke-68 di Jenewa, akhir Mei 2015 ini, Indonesia kembali mengeblok pengajuan draf resolusi WHO yang meminta penggantian penggunaan vaksin polio jenis oral (OPV atau oral polio vaccine) ke vaksin jenis suntik (IPV atau inactivated polio vaccine).
Vaksin jenis pertama (OPV) biasanya diberikan kepada bayi secara oral dengan meneteskan vaksin ke mulut bayi. Adapun vaksin jenis kedua (IPV) harus dikonsumsi bayi melalui cara suntikan.
Desakan vaksin itu tecermin pada draf resolusi WHO yang memaksakan batas waktu penggantian vaksin polio produksi nasional (OPV) dengan vaksin polio produksi negara maju (IPV). Tekanan untuk menerima draf resolusi itu telah dilakukan sejak 2012 ketika WHO memutuskan untuk mengganti vaksin polio jenis oral dengan vaksin polio jenis suntik. Indonesia bertahan dengan menolak secara solid tekanan itu. Langkah taktis WHO ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kepentingan komersial industri farmasi Barat yang ingin mendominasi produksi penggunaan vaksin polio melalui regulasi yang dibuat di WHO.
Saking ambisiusnya industri farmasi Barat menargetkan pasar domestik Indonesia, proses penggantian vaksin OPV menjadi IPV "dipaksa" untuk dilakukan dalam termin yang harus sudah dimulai pada November 2015 dan tuntas Maret 2016. Resolusi yang akan menjadi dasar regulasi lebih luas juga memasukkan seruan agar menarik kembali dan memusnahkan stok vaksin OPV yang masih beredar.
Indonesia sebagai produsen OPV terbesar jelas dirugikan dengan preseden baru itu. Bisa dibayangkan betapa arogansi regulasi WHO tidak lagi mengindahkan mobilisasi penggunaan produk vaksin OPV yang sebetulnya tidak memiliki banyak persoalan di Indonesia. Wajar jika desakan tersebut ditolak karena prosesnya tak memperhatikan sama sekali kapasitas atau kondisi maupun tingkat kesulitan negara-negara anggota WHO.
Motif komersial yang menunggangi desakan penggantian vaksin jenis OPV menjadi IPV yang difasilitasi WHO secara ekonomis sebenarnya mudah dipahami. Buat perbandingan dari sisi komersialisasi, harga vaksin OPV, termasuk yang diproduksi Indonesia dinilai sangat terjangkau oleh banyak negara berkembang yang selama ini menggunakannya. Harga per dosis dinilai relatif paling murah sebesar 0,10 dolar AS atau sekitar Rp 1.000.
Sedangkan, harga vaksin suntik IPV yang merupakan produk perusahaan farmasi negara-negara maju Eropa kini bisa 30 sampai 40 kali lipat senilai 2,65 dolar AS hingga 3 dolar AS atau sekitar Rp 30 ribu per dosis.
Dari sisi ketimpangan harga, tersirat bahwa patokan harga OPV Indonesia yang jauh di bawah IPV akan selalu menjadi hambatan dominasi penggunaan IPV di seluruh negara anggota WHO. Meskipun secara medis, promosi keunggulan ingredient IPV selalu disebutkan jauh lebih baik dari OPV.
Sikap keras yang ditunjukkan Indonesia tidak lepas dari kepentingan industri farmasi Barat yang menunggangi tuntutan penggunaan vaksin polio suntik. Vaksin polio jenis IPV saat ini hanya diproduksi oleh perusahaan farmasi negara maju.
Dipastikan belum ada perusahaan farmasi negara berkembang termasuk perusahaan farmasi nasional seperti Biofarma atau Kalbefarma yang mampu memproduksi vaksin jenis suntik IPV. Dengan kata lain penetapan penggantian OPV menjadi IPV dan penetapan batas waktu yang sangat singkat dapat dimaknai sebagai bagian upaya membongkar pangsa pasar domestik Indonesia yang sangat menjanjikan. Adalah menjadi rahasia umum bahwa WHO pun tidak terlepas dari kepentingan dagang perusahaan farmasi raksasa dalam memasarkan produk mereka.
Selain itu, dilihat dari sisi logistik, pemusnahan OPV maupun pengadaan penggunaan IPV menuntut kesiapan negara anggota khususnya negara berkembang untuk menyediakan dana cukup besar dalam anggaran mereka guna membeli dan mengganti persediaan vaksin sebelum beralih ke vaksin IPV. Bagi Indonesia, dengan penduduk 250 juta dan tingkat kelahiran bayi yang masih tinggi sekitar 4 juta bayi per tahun, penetapan batas waktu yang singkat sebagaimana ditetapkan dalam resolusi WHO jelas akan sangat memberatkan sehingga logis ditolak Indonesia.
Implikasi nyata penggantian tersebut adalah keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan dana anggaran yang sangat besar guna membeli IPV dalam jumlah banyak. Pemerintah Indonesia tercatat setiap tahun menyediakan tidak kurang dari 54 juta ampul/dosis untuk mencukupi kebutuhan program imunisasi polio nasional. Dapat dibayangkan berapa anggaran yang harus disediakan pemerintah bila harus membeli vaksin IPV sebanyak itu dengan harga Rp 30 ribu per ampul.
Penetapan batas waktu November 2015-April 2016 sangat tidak realistis. Draf resolusi tersebut tidak mempertimbangkan pola distribusi vaksin di Indonesia. Pemerintah pusat hanya mendistribusikan sampai tingkat provinsi, dan menjadi tanggung jawab provinsi dan kabupaten/kota untuk mendistribusikan ke semua puskesmas di wilayahnya.
Apalagi, Indonesia akan menghadapi hiruk-pikuk penyelenggaraan pilkada serentak pada Desember 2015 hingga semester I 2016 di hampir dua pertiga dari 573 provinsi/kabupaten/kota. Dapat diperkirakan bahwa pendistribusian vaksin akan terkendala kesibukan dan kegiatan pilkada tersebut sehingga akan gagal memenuhi ketentuan tenggat waktu.
Sikap menolak penetapan batas waktu dan menyatakan tidak terikat ketentuan batas waktu, mungkin perlu dipertahankan sesuai kepentingan nasional. Hanya dengan cara itu, Indonesia dapat terus menggunakan vaksin OPV produksi nasional guna mencukupi kebutuhan nasional dan menggunakannya dalam program imunisasi nasional.
Toh, efektivitas vaksin OPV nasional sudah terbukti. Jenis vaksin OPV bahkan turut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah dinyatakan bebas polio sejak 2006. Karena itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk menjaga keberhasilan ini dan secara konsisten mencegah munculnya kasus virus polio di Indonesia.
Selebihnya, sambil berjalan, seluruh perusahaan farmasi nasional tetap dituntut mulai menjajaki kemungkinan memproduksi sendiri vaksin jenis IPV, baik guna mencukupi kebutuhan nasional maupun kepentingan kompetisi dengan vaksin produksi negara maju melalui penawaran harga yang lebih rendah, tetapi dengan efektivitas yang sama atau bahkan kualitas lebih baik. Hanya dengan cara itu kita dapat melindungi pangsa pasar domestik dari penetrasi produk asing sekaligus lebih menjamin capaian kesehatan bebas polio yang telah diwujudkan pemerintah.
Muhammad Takdir
Policy Scenario Analyst berbasis di Jenewa, Swiss