REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kehadiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015 menarik perhatian masyarakat. Menarik karena isu utama yang menjadi spirit permen itu tentang penumbuhan budi pekerti.
Kehadiran permen ini sebagai pengulangan kebijakan sebelumnya tentang hal serupa, hanya dalam redaksi berbeda. Kebijakan sebelumnya dilabeli dengan pendidikan karakter, kebijakan sekarang dilabeli frase budi pekerti.
Perhatian masyarakat tak hanya terkait dari sisi penamaan, tetapi juga menyangkut metode penanaman nilai-nilai yang dikhawatirkan tak jauh berbeda dengan metode sebelumnya, yaitu siswa hanya dibawa ke pemahaman abstrak, sehingga nilai yang diajarkan tak mampu diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Terlepas dari komentar itu, permendikbud itu mengandung hal baru yang belum pernah terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, yaitu pengembangan potensi diri siswa secara utuh dengan wajib menggunakan waktu 15 menit pada jam pelajaran sebelum belajar-mengajar dimulai untuk membaca. Permen itu mengandung spirit baru yang menyangkut literasi sekolah.
Mengapa kegiatan literasi sekolah menjadi sangat penting? Hasil studi the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui program PISA-nya menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam bidang literasi masih tertinggal dari negara lain, berada pada ranking61 pada 2012. Hanya 1,5 persen siswa Indonesia yang mencapai level empat, sisanya pada level tiga ke bawah dari tujuh level penjen- jangan program PISA.
Artinya, hanya 1,5 persen siswa Indonesia yang punya kemampuan menjawab soal yang perlu pemikiran, sisanya pada peringkat kemampuan menjawab soal hafalan. Siswa Indonesia lebih mampu menghafal daripada berpikir.
Selain itu, minat membaca bangsa ini sangat rendah, yang dalam bahasa Taufik Ismail, kondisi itu digambarkan sebagai tragedi, dengan sebutan tragedi nol buku untuk siswa Indonesia. Kedua hal ini menjadikan permendikbud itu menjadi sangat strategis.
Apalagi, membaca dalam permen itu dijadikan kegiatan wajib. Persoalannya, buku apa yang wajib dibaca? Apa indikator siswa sudah membaca? Dan, yang ter penting, apa hasil dari membaca? Apa lagi buku apa saja bo leh dibaca, selain buku pelajaran, asal membaca.
Buku selain buku pelajaran sangat banyak jenisnya. Boleh jadi jenis buku yang dibaca sudah sesuai, tetapi bahasa dalam penulisan buku itu belum layak dikonsumsi anak seusia mereka.
Kasus hebohnya buku kelas VII, bahasa Indonesia, yang memuat cerpen "Gerhana" untuk Kurikulum 2013 menjadi contoh betapa kosakata yang layak dipahami seusia siswa SD sampai SMA masih dipersoalkan. Untuk menetapkan jenis buku yang dibaca, harus ditetapkan dulu tujuan kewajiban itu.
Sesuai spirit permen, yaitu penumbuhan budi pekerti, literasi sekolah hen- daknya ditujukan sebagai ikhtiar pembentukan budi pekerti siswa melalui membaca dan menulis. Buku wajib baca yang mengandung nilai-nilai, contoh tindakan positif yang menginspirasi siswa agar memiliki budi pekerti yang baik.
Dapat berupa buku cerita lokal, dongeng lokal yang sangat kaya di Indone sia, sejarah lokal, sejarah nasional yang menggambarkan ketokohan, cerita capaian individual manusia Indonesia yang mampu menginspirasi, seperti biografi tokoh lokal atau nasional, bahkan tokoh internasional.
Untuk menumbuhkan semangat cinta Tanah Air bisa disiapkan buku bacaan tentang sejarah bahasa Indonesia, sejarah bendera Merah Putih, sejarah lagu kebangsaan "Indonesia Raya", sejarah pen ciptaan lambang negara. Badan Bahasa beberapa tahun terakhir ini telah mendokumentasi cerita lokal dari berbagai daerah. Tak kurang dari 446 judul cerita dan dongeng lokal terkumpul. Buku-buku itu dapat menjadi bahan bacaan siswa terkait literasi sekolah.
Apa indikator siswa telah membaca sehingga kegiatan literasi sekolah tak hanya bersifat reseptif, tetapi juga pro- duktif. Peserta didik dapat ditugasi melaporkan hasil membaca berupa memodifikasi bahan bacaan dalam bentuk menceritakan kembali, meringkas, mengonversi teks bacaan menjadi jenis teks lainnya, menemukan pesan teks bahan bacaan, debat tentang karakter tokoh.
Kegiatan itu dapat secara lisan maupun tulisan. Melalui kemampuan mengerjakan tugas itu, siswa menunjukkan telah membaca. Dalam konteks itu, salah satu manfaat literasi sekolah menjadi produktif. Literasi sekolah bermanfaat bagi siswa untuk memahami karakter atau nilai positif dan negatif, sehingga bisa menjadi rujukan bertingkah laku.
Hal lain adalah ketersediaan bahan bacaan. Badan Bahasa dapat menyiapkan bahan bacaan terakit cerita atau dongeng lokal yang sesuai latar belakang usia siswa. Bahan itu dapat digandakan dalam bentuk cetakan dan paling efektif melalui digitalisasi bahan bacaan.
Bahan bacaan yang didigitalkan bermanfaat untuk mengefisienkan pemakaian ruang bacaan di sekolah. Peserta didik tak harus ke perpustakaan sekolah, cukup membuka perangkat elektronik mereka melalui telepon genggam yang mereka miliki, tinggal sekolah menyediakan fasilitas internet memadai.
Untuk menggairahkan kegiatan literasi sekolah, bisa melalui lomba antarkelas, antarsekolah tingkat kabupaten, provinsi, sampai nasional. Bisa berupa lomba majalah dinding yang memuat teks ciptaan siswa dari hasil membaca, lomba bercerita ulang hasil membaca, debat karakter tokoh.
Pada tingkat nasional perlu dipertimbangkan olimpiade literasi sekolah. Dengan demikian, kehadiran Permendik bud Nomor 21 Tahun 2015 dapat berkontribusi nyata bagi pembentukan budi pekerti generasi penerus bangsa. Kita pun tak terjebak pada mempersoalkan terminologi Pendidikan Karakter atau Penumbuhan Budi Pekerti.
MAHSUN
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan