Besar pasak daripada tiang, lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. Peribahasa ini paling tepat menggambarkan kondisi keuangan negara saat ini. Silakan cermati data berikut.
Data Ditjen Pajak menunjukkan, realisasi pemasukan pajak negara hingga 4 November 2015 mencapai Rp 774,4 triliun. Capaian ini setara dengan 59,84 persen dari target Rp 1.294 triliun yang ditetapkan di APBN Perubahan 2015 hingga akhir tahun.
Perinciannya, pajak penghasilan (PPh) nonmigas Rp 400,4 triliun, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) Rp 311,9 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 13,8 triliun, dan pajak lainnya Rp 4,4 triliun. Adapun PPh migas Rp 43,7 triliun.
Mengacu pada data tersebut, penerimaan perpajakan jelas dalam ancaman. Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengaku mesti mengejar pemasukan pajak hingga Rp 300 triliun dalam dua bulan sisa tahun ini. Jika itu tercapai, selisih antara realisasi dan target penerimaan pajak (short fall) bisa ditekan menjadi Rp 106 triliun pada akhir tahun.
Pada Rabu (4/11) malam seusai menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Sigit mengakui, Presiden Joko Widodo mengkhawatirkan tak tercapainya penerimaan pajak tahun ini. Presiden, kata Sigit, tak menginginkan pemerintah kekurangan kas untuk membiayai belanja negara yang pencairannya menumpuk pada akhir tahun. "Jangan sampai Desember itu kita kalang kabut. Kalau tidak tercapai kan sulit untuk mencari uang dalam waktu dekat," kata Sigit.
Dirjen Pajak memang tak tinggal diam menghadapi ini. Pihaknya akan mendorong perusahaan melakukan revaluasi aset. Beberapa perusahaan juga memang berencana membayar kekurangan pajak pada akhir tahun karena memanfaatkan kebijakan penghapusan sanksi administratif atau reinventing policy yang digulirkan Ditjen Pajak.
Ekstensifikasi dan penyisiran teritori pajak juga akan dilakukan. Selain itu, Dirjen Pajak juga mempermudah pembayaran pajak yang diharapkan dapat mendorong wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya sebagai warga negara.
Kekurangan pemasukan pajak memang berdampak luas. Program dan proyek pembangunan yang sudah direncanakan bakal tak berjalan karena ketiadaan dana. Jika proyek pembangunan terhenti, perekonomian secara keseluruhan pun bakal mandek. Perputaran uang dan roda ekonomi bisa terhambat. Dampak lanjutannya, pengangguran dan angka kemiskinan bakal melonjak.
Selain dampak secara ekonomi, kondisi ini dikhawatirkan merembet ke imbas secara sosial dan politik. Jika orang tak lagi bisa makan, dikhawatirkan mereka yang lemah imannya bertindak kriminal. Semoga hal demikian tak terjadi.
Dalam kondisi yang demikian, cara mendesak yang mungkin dilakukan untuk menambah arus kas di sisi penerimaan adalah dengan berutang. Bisa dengan menerbitkan Surat Utang Negara, bisa pula dengan mencairkan pinjaman dari luar negeri yang sudah ada komitmennya. Namun, hal ini tidak mudah karena keterbatasan waktu dan penyerapan dari pasar. Apalagi, jika isu yang berembus adalah ketiadaan dana pemerintah, bisa jadi surat utang yang diterbitkan tak terserap atau meminta bunga tinggi yang memberatkan pemerintah.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menyebut perlambatan ekonomi domestik menjadi faktor kuat lesunya penerimaan perpajakan. Krisis global telah menyeret realisasi penerimaan pajak nasional.
Alasan ini sah-sah saja dikemukakan, tetapi alangkah elok bila pencegahan secara dini dilakukan jauh-jauh hari. Menjadi ironi jika jebolnya penerimaan pajak ini diramaikan justru di masa sisa tahun yang tak mungkin bisa melakukan apa-apa lagi. Padahal, Presiden dan para pembantunya disebut-sebut memantau perkembangan keuangan negara ini setiap dua pekan.
Semoga pemerintah dan semua pihak bisa bekerja sama, saling membantu, mengatasi permasalahan kekurangan pemasukan negara ini. Ibarat dalam sebuah rumah tangga, akan menjadi ribut jika pengeluaran belanja rumah tangga jauh lebih besar dibanding pemasukannya.