Indonesia dikenal sebagai negara agamais (religius). Religiusitas ini setidaknya ditandai oleh penuhnya gereja-gereja saat ibadah Minggu. Pura dan Wihara penuh saat jatuh hari peribadatan umat Hindu dan Buddha. Begitu juga Klenteng, dipenuhi penganut Kong Hu Chu ketika tiba hari ibadahnya.
Di lingkup umat Islam ditandai ramai dan penuhnya masjid saat shalat Jumat. Pejabat-pejabat Muslim tidak lagi takut menampakkan keislamannya sebagaimana terjadi pada 1970-1980. Simbol keberislaman, seperti tradisi memakai gelar "haji" juga dipertontonkan secara demontratif, tidak saja di kalangan umat biasa, tapi juga elite pejabat dan politikus Muslim.
Namun, religiusitas ini masih bersifat simbolis. Pada ranah praksis, religiusitas ini nyaris tak hadir. Ini setidaknya ditandai dengan masih tingginya kejahatan publik, seperti penegakan hukum yang masih tebang pilih dan jauh dari rasa adil; angka korupsi masih tinggi; politik penuh ketidakpastian; laku culas, amoral, dan tak satunya kata dengan perbuatan hampir menjadi "pakaian" keseharian sebagian besar politikus negeri ini. Yang paling terkini adalah tontonan menjijikkan lewat drama "papa minta saham".
Jadi, tidak ada korelasi antara religiusitas dengan realitas praksis. Pertanyaanya, mengapa bisa tidak nyambung antara yang "seharusnya" dengan "senyatanya"? Lantas, di mana salahnya bangsa ini? Apa yang salah dari laku para pejabat dan politikus kita?
Kesalahan fundamental dari bangsa ini, terlebih di lingkup para politikus dan pengambil kebijakan adalah ketakmampuannya dalam mendudukan secara adil dan bermartabat akan eksistensinya sebagai manusia. Merujuk pada QS al-Baqarah [2]: 30, sangat jelas posisi manusia, yaitu sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Tuhan tentu sudah memperhitungkan secara matang dengan menunjuk manusia sebagai khalifah.
Tuhan yakin, manusia mampu membawa dan menyampaikan pesan-pesan-Nya ketimbang makhluk lainnya. Keyakinan Tuhan merujuk pada kesempurnaan penciptaan manusia yang untuk menciptakannya, Tuhan rela bersumpah demi Tin (tempat lahir Nabi Nuh, Damaskus), Zaitun (Baitul Maqdis), Bukit Sinai (Nabi Musa menerima wahyu), dan negeri yang aman Makkah (QS at-Tin: 1-4).
Namun, Tuhan juga menyadari, karena ulahnya yang kerap keluar dari fitrah penciptaannya, manusia bisa jatuh menjadi makhluk paling nista (QS at-Tin: 5), bahkan lebih rendah dari binatang ternak (QS al-A'raf: 179).
Merujuk pada QS al-Fathir: 32, Tuhan membagi manusia dalam tiga model. Pertama, manusia yang lebih banyak berbuat baik dan sedikit berbuat dosa (sabiqun bil khairati biidznillah). Kedua, manusia model "pertengahan", antara berbuat dosa dan kebaikan seimbang (muqtashid).
Ketiga, manusia yang lebih banyak berbuat dosa dan sedikit berbuat kebaikkan (dzalimun linafsih). Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya buruk yang ada manusia yang cenderung berperilaku seperti iblis (iblisisme).
Sebaliknya, tidak ada juga manusia yang sepenuhnya baik yang ada manusia yang cenderung berperilaku seperti malaikat (malaikatisme). Artinya, tak ada manusia yang sepenuhnya pendosa karena berarti sudah berubah menjadi iblis, tapi tak ada juga manusia yang tanpa dosa karena berarti sudah jadi malaikat.
Kalaulah merujuk pada QS al-Fathir: 35, lalu dibuat rumusan dosa dalam bentuk skala satu sampai 10--semakin besar skalanya semakin besar pula dosanya--maka dosa dengan skala satu sampai tiga masuk tipe pertama, dosa yang dinilai "wajar" dalam posisi sebagai manusia. Ibarat manusia dan kotorannya, tipe pertama adalah gambaran manusia yang mengeluarkan kotorannya sebesar kotoran manusia juga, bahkan bisa jadi lebih sedikit dari kotoran manusia, tentu akan dinilai wajar. Terhadap tipe pertama ini, Tuhan rasanya masih bisa "senyum" dan "menyapa" atas dosa yang diperbuatnya.
Sementara, dosa dengan skala empat sampai enam masuk tipe kedua, dosa model "tengahan". Kotoran manusia tipe kedua ini sudah mulai melebihi tipe pertama, melebihi kotoran yang lazim dimiliki manusia. Terhadap tipe kedua ini, Tuhan kira-kira sudah mulai sebel dan malas untuk menyapanya.
Dan, dosa skala tujuh sampai 10 masuk tipe ketiga yang kecenderungan manusianya sudah melebihi batas kepatutan sebagai manusia. Ketamakan, kerakusan, dan perilaku korup melekat dan mendarah daging pada tipe ketiga ini. Karakteristik tipe ketiga ini sudah sangat menjiwai karakter iblis(isme). Secara fisik berwujud manusia, tapi perangai dan kelakuannya sudah seperti iblis.
Kalau memahami teologi dosa di atas, maka manusia sebenarnya diberi "pemakluman" oleh Tuhan untuk berbuat dosa, disengaja ataupun tidak, termasuk dosa publik, seperti korupsi. Hanya saja, dosa (korupsi) yang dipermaklum oleh Tuhan adalah dosa (korupsi) yang masuk kategori tipe pertama dalam skala satu sampai tiga, bukan dosa (korupsi) yang masuk tipe kedua dengan skala empat sapai enam, dan tipe ketiga dengan skala tujuh sampai 10.
Akibat yang ditimbulkan dari pendosa tipe pertama tak akan menimbulkan kerusakan berarti. Kerusakan yang ditimbulkan masih masuk kategori "wajar". Sebaliknya, ketika dosa (korupsi) yang dilakukan sudah masuk tipe kedua dan ketiga, itu sudah masuk kategori di luar kepatutan. Kerusakan yang ditimbulkannya juga bersifat masif dan dapat membahayakan orang banyak yang tak berdosa sekali pun.
Bagaimana dengan Indonesia? Menilik masih tingginya angka kejahatan korupsi, kejahatan ekonomi yang tergambar dari pembuatan kebijakan terkait dengan pertambangan, kejahatan politik yang tergambar dari masih adanya transaksi politik dalam proses pembuatan UU, maka menggambarkan bahwa para pendosa di Indonesia tak lagi masuk kategori tipe pertama, tapi sudah dominan masuk pada pendosa tipe kedua dan ketiga.
Para pendosanya tidak lagi mempunyai rasa takut dan malu. Urat takut dan malunya sudah benar-benar putus. Jangankan takut dan malu sama Tuhan (secara indrawi tak terlihat), malu, dan takut sama manusia pun sudah tidak lagi.
Andai saja pendosa-pendosa publik, baik di lingkup pelaku ekonomi, penegak hukum, politikus, dan para pejabat pemerintah dan birokrasi sebatas pendosa tipe pertama, yakinlah Indonesia akan bisa menjadi negara besar, bermartabat, dan disegani oleh negara-negara lain. Namunm karena para pendosanya sudah masuk kategori tipe kedua dan ketiga maka jangankan menjadi negara yang bermartabat dalam konteks pergaulan global, menyelesaikan problem kebangsaannya sendiri pun tak akan mampu.
Patut menjadi perenungan filosofi Jawa, ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu, tapi jangan begitu). Filosofi ini sangat bijaksana, mencoba untuk memahami manusia secara utuh dengan segala kelebihan dan kekuranganya. Filosofi ini mengajarkan pada umat manusia untuk memahami hakikat dirinya sebagai manusia bahwa manusia "boleh" saja berbuat dosa, tapi tidak boleh melebihi batas dosa yang layak disandang manusia.
Maka, bolehlah ngono yo ngono ning ojo ngono. Kalau filosofi ini kita lekatkan pada tindak kejahatan korupsi maka bisa dimaknai, "kalaulah mau korupsi silakan korupsi, tapi jangan korupsi". Makna yang sangat mendalam yang bisa ditafsir bahwa sebagai manusia dibolehkan untuk korupsi, tapi janganlah korupsi itu dilakukan secara berlebihan.
Karena, ketika korupsi yang dilakukannya sudah melebihi ambang batas kemanusian maka pelakunya tak layak lagi menyebut diri sebagai manusia yang penciptaannya begitu mulia dan sempurna. Wallahu a'lam. n
Ma'mun Murod Al-Barbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)