Penerbitan Permen ESDM No 37/2015 tentang Ketentuan Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi telah memberi harapan adanya perbaikan tata kelola gas bumi nasional. Namun, tak sampai sebulan, permen yang terbit 23 Oktober 2015 ini ditarik kembali. Pemerintah gamang menghadapi trader gas yang keberatan atas aturan baru dalam permen, terutama tentang alokasi gas yang hanya diberikan kepada BUMN dan BUMD.
Kuasa Hukum Asosiasi Pedagang Gas Alam Indonesia (INGTA) Yusril Ihza Mahendra meminta Menteri ESDM segera menyelesaikan revisi permen. "Peraturan tersebut berpotensi mematikan swasta dan pengusaha kecil yang selama ini bergerak di bidang penyaluran gas alam ke konsumen akhir," kata Yusril (30/12/2015). Menurut Yusril, substansi permen bertentangan dengan UU Migas dan UU Antimonopoli, sehingga berpotensi dibatalkan Mahkamah Agung melalui gugatan uji materi.
Yusril mengatakan, selaku kuasa hukum INGTA telah menyampaikan masukan kepada Menteri ESDM terkait revisi Permen No 37/2015 pada November 2015. Disebutkan, Menteri ESDM akan segera merevisi permen itu berdasarkan masukan berbagai pihak. Tulisan ini akan membahas apakah revisi permen layak dilakukan.
Pada prinsipnya, ketentuan baru dalam Permen No 37/2015 adalah perbaikan atas Permen No 3/2010. Berbagai ketentuan liberal dalam PP No 3/2010 sebagai turunan dari UU Migas No 22/2001 dan PP No 36/2004 pada hasil akhirnya membuat pelayanan gas kepada masyarakat, sektor industri, PLN, transportasi mengalami banyak kendala. Dampak negatif terjadi meliputi infrastruktur tidak terbangun, pelayanan menurun, kelangkaan gas, harga gas mahal (termahal di ASEAN), daya saing industri rendah, dan lainnya.
Mahalnya harga gas disebabkan sebagian pelaku industri membeli gas dari trader. Trader mendapat alokasi gas dari pemerintah (KESDM/SKK Migas) meskipun mereka tidak memiliki fasilitas. Bahkan, ada trader yang memperoleh gas dari trader lain, sehingga menambah rantai bisnis dan harga gas mahal.
Kondisi industri gas nasional saat ini melibatkan banyak trader sebagai perantara. Semakin banyak perantara, membuat industri tidak efisien dan harga yang dibayar konsumen menjadi lebih mahal.
Tak heran dengan rantai bisnis yang tidak efisien berdasar model peraturan yang liberal ini, harga gas di tingkat konsumen dapat lebih mahal 5,5 dolar AS-6 dolar AS per mmbtu dari seharusnya. Cukup pantas jika konsumen gas menyambut baik terbitnya Permen No 37/2015, terutama untuk mengoreksi tata kelola saat ini yang melahirkan penjualan berjenjang dan menyediakan celah berperannya para trader dan pemburu rente.
Pasal 6-12 Permen No 37/2015 mengatur penyaluran gas bumi kepada pengguna gas bumi hanya akan dijalankan oleh BUMN dan BUMD. Gas yang dialokasikan tak dapat diniagakan kembali selain kepada pengguna akhir. Permen ini memperjelas dan mengembalikan hak penguasaan dan pengeloaan sektor gas bumi kepada negara.
Pengelolaan sektor strategis dan menyangkut hidup orang banyak seharusnya dilakukan oleh BUMN dan BUMD sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, sangat disayangkan jika Menteri ESDM justru berkenan memenuhi tuntutan para trader, padahal perbaikan permen merupakan amanat konstitusi.
Yusril dan INGTA menyebut Permen No 37/2015 bertentangan dengan UU Antimonopoli dan berpotensi dibatalkan Mahkamah Agung sehingga harus direvisi. Padahal, kebijakan monopoli alamiah sektor pelayanan publik normal berlaku di dunia dan dijamin pula oleh konstitusi untuk dijalankan BUMN. Dengan monopoli alamiah tercipta pelayanan yang luas, harga wajar, cross-subsidy antarwilayah (dari yang padat ke yang jarang konsumen) dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan.
Menurut konstitusi dan UU, monopoli tidak dilarang. Hal yang dilarang adalah praktik monopoli yang merupakan penyalahgunaan dari monopoli. Sejak semula, industri gas di Indonesia bersifat monopoli alamiah. Tetapi, dengan berlakunya UU Migas, pelayanan dikompetisikan di beberapa segmen penyedia gas dan trader.
Karakteristik sektor gas dengan monopoli alamiah sebenarnya melekat, tapi diliberalisasi tanpa definisi yang jelas tentang fungsi trader. Akibatnya, terjadilah berbagai kerugian seperti disebutkan di atas.
Ada kekhawatiran hak monopoli akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang oleh BUMN, terutama dalam penetapan harga. Padahal, konsep monopoli harus dijalankan bersamaan dengan wewenang penetapan harga yang mutlak di tangan pemerintah. Pasal 72 PP No 30/2009 menyatakan, harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan ditetapkan oleh pemerintah.
Karena itu, bersamaan dengan terbitnya Permen No 37/2015, pemerintah pun seharusnya mencabut Permen No 19/2009 yang memberi wewenang kepada badan usaha/trader untuk menetapkan harga gas bumi (Pasal 21 ayat 4-5). Faktanya, harga gas mahal dan peran trader bukan akar masalah tata kelola gas, tetapi hanya gejala. Tidak tepat jika membuat kebijakan hanya berdasarkan gejala. Problem utama tata kelola ternyata karena kurangnya transparasi.
Di samping penentuan harga gas di tangan pemerintah, aspek governance pun harus ditingkatkan, baik di lingkup pemerintah maupun di BUMN. Selain itu, perlu dibentuk komite pengawas yang keanggotaannya berasal dari pemerintah, wakil konsumen gas, profesional sektor, akademisi, dan lainnya.
Terkait pengembalian monopoli BUMN, pemerintah pun perlu meningkatkan sinergi BUMN, PGN, dan Pertagas. Perlu integrasi infrastruktur melalui sinergi operasi sarana transmisi dan distribusi keduanya.
Konsep open access dan unbundling harus dijalankan, tapi berlaku terbatas hanya di antara kedua BUMN. Bundled service mestinya diberlakukan atas infrastruktur yang sedang dikembangkan. Selanjutnya, kedua BUMN perlu digabung dengan catatan mayoritas saham publik PGN harus dibeli kembali oleh negara.
Penerbitan Permen No 37/2015 seharusnya disambut baik seluruh kalangan, termasuk trader mengingat tujuannya mengoreksi berbagai peraturan yang telanjur liberal. Memang, mestinya perubahan dimulai dengan revisi UU Migas dan sejumlah PP di bawahnya.
Namun, karena faktor waktu dan upaya, sementara dampak negatif yang timbul semakin parah, maka langkah interim menerbitkan permen patut diapresiasi. Karena itu, penolakan atas permen patut dipertanyakan. Jika bukan oleh bangsa sendiri, siapa lagi yang akan menghormati konstitusi kita?
Peran swasta/trader di industri gas harus tetap diakomodasi pemerintah. Untuk itu, perlu disiapkan aturan, minimal melalui revisi Permen No 37/2015 yang secara perlahan mengalihkan keterlibatan trader untuk selalu bekerja sama dan berkontrak dengan BUMN dan/atau BUMD.
Bisnis yang dapat digeluti trader bersama BUMN atau BUMD, antara lain, menjadi retailer wilayah tertentu dan membangun infrastruktur di wilayah baru. Dengan kendali di tangan BUMN, minimal pemerintah telah memulai perbaikan sistem yang konsisten dengan konstitusi, tapi tetap membuka peluang kepada swasta untuk memperoleh kesepmatan berbisnis, sehingga tata niaga gas yang liberal dapat diperbaiki.
Marwan Batubara
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress)